Welcome

3K 179 21
                                    

Minggu, 28 Juli 2047. Stasiun Kereta Magehaven. Jam 16.18.

Di bawah naungan merah langit sore, Saber Drake keluar dari pintu kereta yang baru terbuka beberapa detik yang lalu. Rambut putih-peraknya yang lembut melambai-lambai terkena angin sore yang hangat. Mana alam sedang baik hari ini, benaknya.

Dua buah roda berporos dari tas koper hitam besarnya berputar menggelinding saat Saber menarik gagangnya. Sesuatu yang seperti tongkat panjang dililit kain tebal menjembul keluar dari tas itu. Saat dia berjalan, sol sepatu hitamnya bersuara tok tok tok seperti tongkat yang dibenturkan.

Matanya melirik menatap sekitar, tapi yang terlihat hanya orang-orang yang sedang lalu-lalang mengejar jadwal masing-masing. Tak lama kemudian, Saber bersandar pada pilar putih berdiameter lima puluh sentimeter yang bertaburkan batu kuarsa. Ia menyarungkan pergelangan tangannya pada saku mantel tebal yang ia kenakan di balik kaus hitam polos. Sementara celana jeans biru tuanya menempel cukup ketat dengan kakinya.

Baru saja Saber menyandarkan tubuhnya saat suara melengking tinggi memanggil namanya, "kak Sabeer!"

"Ng?" Saber menoleh ke asal suara, seorang gadis berumur tiga belas tahun berlari ke arahnya layaknya anak kecil biasa. Rambutnya yang berwarna putih perak seperti Saber terurai saat ia berlari. Ketika Saber melihat wajah imutnya, hanya perlu sedetik untuk Saber mengenali wajah polos itu.

"Hei, Alice."

Alice adalah adik Saber satu-satunya. Umurnya terpaut tiga tahun dari kakaknya, tapi Alice sudah duluan menjadi murid di Machenhaft, yang berarti dia adalah senior bagi Saber.

Ketika Alice sudah berada di depan Saber, ia meloncat-loncat seakan-akan berada di atas trampolin. Rok putih panjangnya berkibas terkena angin saat ia melompat, hal yang sama terjadi pada kardigan kremnya juga.

"Lama tak berjumpa, Kak Saber!"

Saber tersenyum menatap tingkah polos adiknya. Dia menepuk pelan kepala Alice sambil mengusapnya dengan lembut. "Benar,mungkin sudah lima tahun ya?"

"Um!" Teriaknya sambil mengangguk. Alice langsung menarik pergelangan  tangan kakaknya, "nanti saja ceritanya, kakak pasti capek bukan?"

"Tentu, setelah duduk selama sepuluh jam di kereta, rasanya aku ingin segera berbaring," keluh Saber sambil memegang lehernya yang kaku.

"Ya sudah, ayo cepat kita ke sana!"

Saber mengangguk, lalu meraih gagang tas koper dengan jari-jari tangan kirinya. Alice menarik pergelangan tangan kanan Saber dengan cukup kuat, sedangkan Saber hanya mengikuti langkah Alice dengan tersenyum.

Mata Saber berbinar-binar melihat menara jam antik setinggi lima meter di depan stasiun, serta pemandangan dari kemegahan kota Micrea yang merupakan kota paling canggih dan mewah di Rearia.

Mereka berhenti di bahu jalan setelah menyeberang di zebra cross. Saber melepaskan jari-jarinya dari gagang tas koper besarnya. Baru saja ia ingin mengeluh tentang keadaan, taksi sudah berhenti saat Alice melambaikan tangannya.

Sang sopir taksi adalah pria berusia empat puluhan. Rambutnya tipis, membuat dia terlihat hampir botak. Pipinya cekung memperlihatkan tulang pipi yang menonjol. Dagunya sedikit tumpul dengan janggut tipis-putih. Yang dia kenakan adalah jaket hijau tebal di balik kaus kuningnya. Dia juga memakai celana jeans biru tua yang sepintas terlihat mirip dengan yang Saber pakai.

"Masuklah nak, biar kubereskan koper ini," tawar sang sopir sambil membuka bagasi mobilnya.

"Baiklah, terima kasih!" Jawab Alice. Dia segera masuk duluan ke taksi dari pintu kiri, dan Saber masuk setelahnya. Setelah terdengar suara hentakan disertai mobil taksi yang sedikit bergoyang, sopir taksi itu masuk ke mobil.

Seven Dragoneer at Magic AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang