"Everybody's got a piece of their heart thats been stepped on and torn apart, but you gotta be strong, you gotta walk on." (Things are gonna get better - David Archuleta)
Fera sedang duduk di meja kerja tertegun memikirkan sesuatu.
“Jangan melamun pagi-pagi ntar kesambet setan....”
Fera sontak kaget mendengarkan suara seorang pria,
“Pak... Pak Dion....” ucap Fera tergagap.
“Ini....” Dion menyodorkan segelas cappucino hangat yang baru dibeli di Kafe yang terletak di lantai dasar kantor.
Fera tampak ragu hendak mengambil atau tidak, Dion kembali menyodorkan sambil mengangkat kepalanya memberi kode untuk menerima minumannya. Fera kemudian mengambil dan menyeduhnya pelan. Terlihat gempulan asap muncul dari bibir mungilnya.
"Tio kemana ya? Gue gak ada lihat dia di ruangannya,"
"Mas Tio ada meeting sejak pagi, tadi setelah mengantar saya dia langsung pergi," jawab Fera pelan kemudian menyeduh lagi cappucino hangatnya.
Dion mengangguk kepala mendengarkan jawaban Fera.
"Bagaimana?"
Fera mendongak ke arah Dion tidak mengerti maksud pertanyaannya.
"Eh maksud gue, bagaimana kerja di sini? Enak? Nyaman?" Jelas Dion menguraikan maksud pertanyaannya.
Fera melemparkan senyum hangat pada Dion, "Alhamdulillah menyenangkan," jawabnya lantang.
Fera tidak menyangkal ia mendapat banyak pengalaman setelah bekerja disini ditambah dapat berinteraksi langsung dengan orang-orang berpengalaman meski desas-desus miring tentangnya masih sering didengarnya terutama dari rekan kerja wanitanya. Ya apalagi jika bukan statusnya sebagai istri direktur, seorang bujangan impian tiap wanita yang sekarang sudah resmi menjadi suaminya. Banyak gunjingan yang merendahkan dirinya seperti jika ia tidak layak bersanding dengan Tio dan hal lainnya yang membuat Fera mesti banyak menarik napas dalam menahan kesabarannya.
Dion melihat senyum hangat Fera. Ia mengetahui jika gadis ini pura-pura bersikap tegar di depan semuanya namun dalam hatinya terluka. Ia mengetahui secara detail apa yang sahabatnya lakukan pada gadis ini. Gadis yang lugu, polos dan belum mengenal bahwa dunia ini bisa lebih kejam padanya. Mengenai Tio yang tidak hadir sejak pagi di kantor, ia sudah mengetahui jika Tio sedang menemui Sarah. Sarah adalah salah satu rekan yang pernah bekerja sama dengan perusahaan. Sarah yang pernah menjadi salah satu teman kencan Tio. Sarah yang saat pertama kali dikenalnya ketika Tio mengajak mereka makan malam membicarakan proyek di Riau membuat bulu tengkuknya berdiri. Tingkah genit dengan gaya pakaian yang serba terbuka. Ia selalu menempel kemana Tion pergi. Dion melihatnya saja sudah risih, dia tidak bisa membayangkan dirinya jika ia menjadi Tio harus menanggapi tingkah wanita genit itu.
"Pak Dion belum ke ruangan?" Suara lembut Fera membuyarkan lamunan Dion.
Dion menggelengkan kepalanya, "Fera... jika kita sedang berdua sebaiknya Lo panggil nama gue aja, gak usah pake bapak."
"Tapi Pak... kelihatan gak sopan kalo saya memanggil dengan nama," sergap Fera.
Dion tersenyum melihat Fera. Gadis ini benar-benar sangat berbeda. Ia ikut merasa miris melihat perlakuan Tio yang sangat acuh tidak acuh kepada istrinya ini.
"Ya udah Lo panggil gue kakak aja kalo Lo merasa gak sopan pake nama gue langsung,"
"Kakak?" Tanya Fera.
Dion mengangguk, "Anggap aja gue kakak Lo, oh iya gue balik dulu ke ruangan."
Dion segera pamit ke ruangannya. Ruangannya berada satu lantai dengan ruangan Tio. Ia memperhatikan sepertinya Tio udah balik ke kantornya. Ia pun menuju ke ruangan Tio.
