"As i stand here before my woman, i can't fight back the tears in my eyes. Oh how could i be so lucky. I must have done something right and i promise to love her for the rest of my life." (Rest of my life - Bruno Mars)
Akhirnya Fera kembali ke Bandung karena segala pekerjaannya di Bali telah selesai. Ia memperhatikan lalu lintas yang ramai dari balik jendela mobil. Meski ia baru beberapa minggu tinggal di sini. Ia sudah merasakan suasana damai dan tenang yang membuat ia merindukan kota ini dan segera ingin pulang.
Fera membuka tasnya dan meraih Iphonenya untuk menghubungi Tio.
"Halooo... Assalamualaikum," terdengar sapaan suara Tio dibalik sambungan telepon.
"Waalaikumsalam," balas Fera pelan.
"Kamu dimana? Udah sampai?" Cerocos Tio yang kelihatan tidak sabar.
Fera hanya terkekeh mendengar pertanyaan Tio, "Ini lagi dalam perjalanan dari bandara," balasnya lagi.
"Kenapa kamu gak mau aku jemput?" Rengek Tio.
Sejak kemarin malam ketika Fera mengatakan akan pulang keesokan harinya ke Bandung. Tio bersikeras ingin menjemputnya namun Fera menolak dengan alasan tidak mau merepotkan suaminya.
"Kan udah dibahas kemarin, gak mau merepotkan Mas," jawab Fera lirih.
"Aku gak merasa direpotin," balas Tio cepat.
Fera mendesah. Ya dari kemari malam masalah ini terus menjadi perseteruan mereka. Fera kembali mengingat tujuan awal ia menelepon Tio.
l
'Mas, Mau dimasakin apa malam ini?" Tanya Fera tenang mencoba mengalihkan pembicaraan mereka.
"Terserah, apapun yang dimasak istriku pasti aku makan," jawab Tio dengan nada ceria.
Fera tersenyum mendengar nada bicara Tio. Ternyata mudah mengembalikan mood Tio yang sudah buruk menjadi baik.
"Oo.... Tapi Mas jangan pulang telat ya," pinta Fera.
Ini hari pertama ia kembali ke apartemen setelah hampir tiga minggu meninggalkannya. Ia berencana memasak makanan yang sangat istimewa malam ini.
l
"Kenapa? Kamu kangen sama aku? Gak sabar mau ketemu aku?" Goda Tio dan terdengar suara kekehannya dibalik telepon.
Pipi Fera merona ketika mendengar ucapan Tio. Entah kenapa Tio senang menggodanya akhir-akhir ini dan ia juga gampang merona dan malu jika digoda Tio. Fera berseru dalam hati. Untung saja mereka sedang berbicara lewat telepon. Jika mereka berbicara berhadapan secara langsung ia tidak tahu dimana harus menyembunyikan wajahnya yang merona ini.
"Gak, cuma mau pastiin kalau aku masak untuk makan malam ini gak percuma. Siapa tahu Mas telat pulang lalu gak makan masakanku," bantah Fera.
Fera menyesali dirinya sendiri mengucapkan kalimat seperti itu sendiri kepada suaminya. Ia hanya tidak mau kelihatan mudah tergoda oleh gombalan Tio. Tapi sesungguhnya di dalam hatinya ia benar-benar sudah terkena gombalan suaminya. Terkesan munafik bukan? Kekekekk...
Tio berdehem sejenak kemudian ia menjawab dengan tegas dan dingin.
"Mulai malam ini sampai seterusnya, aku akan makan terus masakanmu jadi jangan pernah berpikir yang aneh-aneh."
Fera mengerutkan dahinya. Meski ucapan Tio terdengar dingin namun entah mengapa ia sangat senang mendengarnya.
"Mas... Udah dulu ya. Udah mau sampai ni di supermarket." Potong Fera ketika ia sudah tiba di depan supermarket langganannya.