Laki-Laki Kaku.

284 5 0
                                    

Hai, laki-laki yang masing gamang dengan rasanya, apa kabar? Saya ingin menceritakan tentang sebuah perasaan yang tak berbalas kepadamu wahai lelaki kaku. Tentang bagaimana perihnya mengenggam erat sepotong hati yang mulai lebur.

Hai, lelaki kaku. Apakah kamu masih belum menangkap tentang apa yang tersirat? Tentang rasa yang sudah mulai tumbuh semakin subur, rindu yang semakin menggebu, dan raga yang ingin merengkuh.  Saya ingin mendiskripsikan semua hal tersebut; namun saya masih ingin menyimpannya untuk saya sendiri dibeberapa bagian.

Lelaki kaku, saya masih ingat betul bagaimana cara kita berkenalan. Melalui sebuah sosial media yang sedang naik daun. Mengutip foto yang saya unggah ketika saya masih setia pada Yogyakarta yang damai. Saya ingat kala itu; disaat kamu menawarkan untuk berjumpa disebuah tempat wisata agama Budha. Mengajak kaki ini mengitari pelataran candi. Memotret apapun dengan kamera yang kamu bawa waktu itu. Pada hari itu, saya melingkari tanggalnya karena kamu yang menjadi sebuah alasan.

Bertukar kabar adalah kegiatan rutin yang kita jalankan setelah hari itu. Kau yang masih sibuk di Yogya, sementara saya yang sudah harus pulang. Kemudian, saya masih mengingat betul ketika kamu meminta saya untuk satu program studi setelah saya menyelesaikan sekolah menengah saya.

Perhatian yang kamu curahkan kepada saya membuat saya merasa penting dihidup kamu. Membuat saya kembali merasakan virus merah jambu yang sudah lama layu. Kamu dan keunikan yang kamu miliki; saya mulai menyukainya.

Kemudian, suka itu semakin membuncah tatkala kamu dan saya semakin sering bersua. Hingga pernyataan itu keluar dari mulut kamu, saya masih sedikit tidak percaya. Saya terkadang masih menyadarkan diri saya, takut-takut jika ini hanya mimpi belaka. Namun, ini adalah realita. Saya sangat bahagia kala itu. Satu minggu yang sangat berkesan. Setelah dua tahun saya menjadi seorang adik kelas bagi kamu, satu minggu berkenalan lebih dekat, dan sekarang saya adalah milik kamu.

Saya bahagia dengan sangat. Satu bulan, dua bulan hubungan kita masih baik-baik saja. Bulan ketiga, ada satu hal yang membuat saya sedikit merasa kaget ketika kamu adalah seorang masa lalu dihidup pasangan sepupu saya. Saya sudah mengkonfirmasi kepada kamu, namun kamu membisu. Saya pikir, kamu masih belum ada niatan untuk bercerita. Saya menunggu, menunggu, dan menunggu sampai kamu siap bercerita. Namun, nihil.

Setelah itu, yang saya dapatkan adalah pembandingan antara diri saya dengan masa lalu kamu. Saya yang jarang memberi kabar, tidak seperti masa lalu kamu yang sering memberi kabar. Masa lalu kamu yang sering menuntut untuk ini dan itu, dan saya bukanlah tipikal yang seperti itu. Bukan jenuh, namun saya merasa semakin tidak nyaman dengan pembandingan tersebut.

Kamu dan saya bertemu, kemudian saya memutuskan untuk break. Bukan tanpa alasan, hanya saja saya ingin kamu berintrospeksi. Menjelaskan dengan sabar sebab-sebab saya meminta break. Perih memang, tapi saya tidak ingin lebih hancur daripada ini.

Tidakkah kau tahu wahai lelaki kaku; mengapa intensitasku memberimu kabar cenderung tipis? Tidak menuntut ini dan itu? Semata-mata hanya saya tidak ingin kamu terkekang, tidak ingin kamu terlalu berpusat terhadap saya. Karena saya takut, jika Tuhan tidak menjodohkan kita dimasa yang akan datang.

Duhai lelaki kaku yang saya sayangi, saya menyukai kamu karena itu kamu. Bukan karena orang lain ataupun karena kamu seperti masa lalu saya. Saya menyukai kamu karena itu kamu dan selalu menjadi kamu. Sebabnya, aku tidak pernah membandingkan kamu dengan lelaki manapun. Karena bagi saya, kamu dan diri kamu sudah menjadi pelengkap yang begitu menawan untuk saya.

Satu minggu berselang, kamu menemui saya. Menceritakan alasan-alasan mengapa kamu membandingkan saya dengan dirinya. Saya menyesal ketika kamu memberitahu saya. Tentang kamu yang ingin lebih diperhatikan, tentang rindu yang kamu rasakan, tentang waktu yang kamu inginkan dari saya, dan tentang cemburu yang kerap menjalar pada kamu.

Hai, lelaki kaku. Maafkan saya yang kurang peka. Harusnya saya menyadari jika kamu hanyalah seorang lelaki kaku yang sulit mengungkapkan rasa karena gengsi. Tapi percayalah, saya menyukai kamu yang seperti ini. Maafkan saya dan keputusan bodoh saya minggu lalu.

Unspoken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang