Biru, Sembab, Berantakan

612 7 0
                                    

Kemarin, sejak aku memutuskan untuk melangkahkan kaki, itu juga menjadi titik awal bahwa kamu bukanlah lagi menjadi porosku. Meninggalkan kamu dengan kekalutan di dada tidak pernah mudah. Memori otakku terus memutar kenangan-kenangan kita bagai kaset yang rusak. Sialnya, bau tanah basah akibat hujan membuatku semakin pilu. Sepertinya bumi memang sedang merengkuhku yang biru, yang sembab dan ya.. berantakan.

Setelah meninggalkan kamu, aku merasa baik-baik saja awalnya. Sekuat tenaga aku tidak ingin menangisi segalanya. Namun aku adalah aku, yang egois dengan semuanya. Aku akhirnya menyerah, menangisi kamu dan menciumi baju kamu yang kedodoran ketika aku pakai.

Kopi tidak lagi menarik ketika tidak bersama kamu. Netflix terasa sangat membosankan tanpa kamu. Bahkan biskuit kesukaankupun terasa hambar dan tidak enak. Sesekali aku menertawakan takdir yang begitu hebat merancang kepiluan yang aku sendiri tak tahu harus menggambarkannya seperti apa.

Ini sakit, bahkan lebih dari kata sakit. Ketika kamu dan aku saling memeluk dan merengkuh, namun tidak dengan Tuhan. Kamu tahu, tidak? Saat kamu ke Gereja pagi itu, aku menangisi kamu sejadi-jadinya. Meratapi kebodohan sedalam-dalamnya. Protes kepada Tuhan-ku mengapa aku bisa jatuh sama kamu.

Yah, memangnya kamu tahu kalau kamu akan mencintai laki-laki itu? Iya, itu suara otakku. Aku merasa sedikit gila akhir-akhir ini setelah melepaskan kamu. Mengecek ponsel tiap saat, berpikir bahwa bisa saja kamu tiba-tiba mengirimiku pesan. Tapi ya, hanya mimpi.

Aku sadar ketika aku melepaskan kamu. Merapalkan mantra bahwa semuanya akan berjalan baik-baik saja. Meyakinkan diri bahwa semua ini akan berakhir. Iya, ini tidak pernah mudah bagi aku. Mencoba menghapus segala kenangan sialan yang terus saja menghantui aku disetiap malam. Dan yang pasti, memulai hidup baru tanpa kamu disisi aku.

Unspoken HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang