Dia pernah bertanya kepada saya, mengapa saya mau menjadi kekasihnya. Saya terdiam sejenak saat itu, tidak menyangka jika pertanyaan itu akhirnya terlontar dari bibirnya. Kemudian saya menjawab “Karena saya ingin memiliki suami keturunan arab atau timur tengah mas”
Dia mengerutkan kening, setelah itu tertawa terbahak-bahak sampai dia memegangi perutnya. Pikir saya dimana letak lucunya? Namun, tak masalah. Tawanya membuat saya merasa nyaman dan menjadi wanita yang beruntung.
Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, hingga bulan keempat, keadaan kami baik-baik saja. Namun, bulan kelima adalah bulan yang begitu memilukan bagi kami, terutama saya. Kami—lebih tepatnya ia— memilih untuk kembali berjalan sendiri-sendiri. Memutus jalur yang sempat searah. Menyobek hati yang pernah bersatu.
Entah angin darimana yang membawa badai itu, entah desas-desus mana yang menjatuhkan saya begitu dalam saat itu, dan entah siapa penyebar kabar burung itu, saya tidak tahu. Tentang kabar yang disampaikan kepada kamu, aku benar-benar tak tahu-menahu.
Kepada kamu, laki-laki yang pernah mengisi hati. Saya dulu pernah jatuh, dalam hingga terpuruk. Sekarangpun sama, saya sedang terjatuh karena kamu. Dari kamu saya mempelajari satu hal; bahwa kepercayaan adalah pondasi utama dalam sebuah membangun hubungan. Dan kamu, tidak pernah mempercayai saya. Kamu bahkan lebih mempercayai kabar tak jelas itu daripada menanyai saya langsung, mengonfirmasi kepada saya. But you never fix ‘that’ things to me. You never ask me. You just blamed on me.
Kepada kamu, laki-laki yang tawanya pernah terdengar merdu ditelinga. I just wanna say thank you for being mine. Tidak ada yang salah dalam hal ini, hanya saja takdir tidak berpihak. Selamat tinggal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unspoken Heart
PoetryHalo! Jika kamu mengira bahwa ini adalah sebuah cerita, jawabannya adalah bukan. Saya tidak tahu ini apa, tetapi jika kamu ingin, kamu boleh membacanya. Lalu, jika ada yang tidak tepat dengan isi hati dan kemauanmu, maka tinggalkanlah koreksi dan ke...