Mas-Ade: Ready-To-Wait Man

1.7K 403 120
                                    

Menurut Dimas, orang yang paling blak-blakan yang dia tahu itu Juna. He is the king of blak-blakan. Kadang Dimas merasa kalau mulut Juna harus dipasang retsleting biar ada penutupnya.

Karena saking blak-blakannya, Juna sempat teriak dengan keras di Lapangan Sabuga ke salah satu peserta ospek dengan bilang, “Buat kamu, lain kali bra-nya dipake. Kamu mau ikut ospek atau mau mamer dada ke sini?”

Buat Dimas harusnya hal itu bisa dibicarakan pribadi, nggak perlu diumbar sampai di lapangan. Ah, mungkin karena itu anak mahasiswa menobatkan Juna menjadi komdis tergalak di kampus.

Yah, meskipun begitu, blak-blakan itu bagus. jadi lebih gampang mengutarakan dan menyampaikan sesuatu, terutama perasaan. Dan sialnya, meskipun Dimas sendiri tipikal cowok yang sering kelepasan kalau bicara, tapi kalau sudah menyangkut perasaan Dimas bisa berubah jadi cowok yang banyak basa-basi.

Contohnya ya seperti sekarang ini. Dimas mengomeli Ade karena hampir seminggu flu dan tidak sembuh-sembuh. Sudah begitu, kantung mata Ade jadi lebih hitam. Pasti cewek ini begadang, begitu menurut Dimas.

Begitu Dimas sampai ke rumah Ade, cowok ini langsung mengomeli Ade panjang lebar.

“Kesehatannya nya dijaga dong, De. Mbok ya minum paling nggak harus cukup toh.”

“Katanya mau masuk kampus yang sama kayak Mas, tapi minum aja lupa.”

“Model kayak kamu begini susah nanti kuliah.”

“Kalau sakit terus begini nanti belajarnya susah lho, De.”

Sebanyak apa pun omelan yang Dimas keluarkan, sebenarnya artinya sama. Semua kalimat omelan itu bisa dirangkum menjadi, “Jangan sakit terus, De. Mas khawatir kesayangannya Mas sakit terus.”

Tapi sayangnya, Dimas sama sekali tidak bisa mengucapkan kalimat yang satu itu. Keterlaluan memang mulutnya ini. Nggak bisa diajak kerja sama.

“Udah ah, Mas. Kita belajar lagi. Ade juga nanti sembuh.” Ade mulai mengeluarkan suaranya. “Lagi sakit kok malah diomelin, Mas?”

“Ya kalau kamunya diam terus, nggak ada usaha ya gimana mau sembuh, De?” Dalam hati, Dimas ikut menambahkan. Ini Mas ngomel juga karena sayang sama Ade-nya Mas ini.

Dimas kemudian berdiri dari karpet, berjalan ke dapur dan mengambil segelas air panas lalu memberikannya pada Ade. “Punya madu sama jeruk nipis nggak, De? Biar Mas peras terus campurin ke airnya.”

“Di kulkas kayaknya ada. Biar Ade ambil,” balas Ade. Tapi dengan cepat Dimas menahan pundak Ade, membiarkan cewek itu tetap duduk di tempatnya.

“Biar Mas aja yang ambil. Di kulkas kan?”

Ade hanya bisa mengangguk dan membiarkan Dimas kembali ke dapur. Dua menit berikutnya Dimas sudah kembali dengan sendok berisi madu dan dua potong jerus nipis yang sudah terpotong di tangannya.

“Si Mama ngasih obat nggak, De?” tanya Dimas.

“Ngasih. Cuman Ade nggak suka sama obat,” jawab Ade dengan santainya sembari memutar pena di tangannya.

“Nggak suka atau Ade lupa minum?”

Ade langsung tertawa. Well, Mas just got the point there.

“Kan kamu nih. Sama diri sendiri aja lupa.” Dimas masih geleng-geleng kepala, tapi tanganna langsung bergerak memeras jeruk nipis di tangannya ke dalam gelas kemudian memasukkan madu yang tadi dia bawa.

Begitu selesai, Dimas langsung menggeser gelasnya ke dekat Ade. “Nih, udah. Minum sampai abis lho, jangan disisain.”

Dengan cepat Ade langsung menenggak air di dalam gelas yang Dimas berikan padanya tadi. Begitu selesai, Ade langsung meletakkan gelasnya dan menarik buku yang ada di dekat Dimas. “Udah nih, ayo belajar lagi.”

Melihat tingkah Ade, Dimas hanya bisa tersenum sampai menggelengkan kepalanya.

“Cepat sembuh dari flu ya, De. Biar belajarnya lancar. Kurangin tuh tidur terlalu malam, nggak baik,” ujar Dimas dengan lembut. Kalau begini, aura orang Jawa-nya Dimas kelihatan banget, begitu menurut Ade.

“Mas nih ternyata sama kayak Mama deh. Looks alike banget,” komentar Ade yang langsung ditimpali Dimas.

“Cerewetnya yang looks alike, kan?”

“Yap.”

Keduanya kemudian tertawa, membuat isi rumah penuh dengan suara tawa mereka. Dimas sempat memerhatikan Ade untuk beberapa saat sebelum bertanya.

“Aneh nggak sih kalau cowok cerewet kayak Mas?”

Begitu mendengar pertanyaan tersebut, Ade sempat diam untuk beberapa saat. Tapi kemudian kepala menggeleng dengan cepat. “Buat Ade sih nggak. Mas ya tetap Mas, mau cerewet juga. It was Mas after all. Mau gimana juga Ade tetap suka.”

Dan karena jawaban itu, Dimas jadi tahu satu hal.

Dia tidak perlu jadi Juna yang blak-blakan untuk bisa menyatakan perasaannya. Mau bagaimana pun, Adimas ya tetap Adimas.

Dan sejak awal, Adimas ini memak sudah jadi pria yang siap menunggu seorang perempuan yang bernama Adelaida Devara Ini.

He still one hell ready-to-wait man for Ade. And he will be.

***

Unknown (✓)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang