Buat cewek yang satu ini, makanan itu hal yang crucial, dan harus sangat diperhatikan.
Setelah dari bangku SMP bercita-cita masuk ke sekolah pariwisata dan menjadi chef nantinya, cewek yang sering dipanggil dengan sebutan “Jo” ini akhirnya banting stir hingga mendaftarkan diri ke SF di salah satu institut negeri di Bandung.
Ketika Mama atau kerabatnya yang lain menanyainya kenapa tidak mendaftarkan diri ke politeknik gizi, jawaban Joanna selalu sama.
“Aku pengin bisa ngobatin Opa, Ma. Lagian farmasi juga nggak akan jauh dari makanan.”
“Kalau gitu kenapa nggak jadi dokter?”
Yah, Joanna tahu Mama akan menanyainya akan hal itu. Tapi dilihat dari sisi mana pun, Joanna ini kurang cocok jadi dokter. Dia sendiri bukan tipe yang suka tersenyum pada banyak orang.
Dari SD sendiri, Joanna tipe cewek yang lebih suka menjahili anak orang sampai menangis dibanding melempar senyum. So, doctor doesn’t suits her really well.
Selain karena dia ingin mengobati Opa yang belakangan mulai sakit-sakitan, Joanna juga ingin explore dunia obat-obatan.
Menurutnya, obat itu bukan harus dari bahan kimia. Dari bahan-bahan makanan yang sering ada di kulkas juga pasti bisa.
Berbekal dengan modal ‘lebih suka kimia dibanding biologi’, Joanna membulatkan tekadnya untuk masuk SF.Buat Joanna, dia memang lebih suka bereksperimen dengan makanan. Toh, memang pada akhirnya cewek itu kerjanya bakal di dapur.
Memasak buat Joanna itu hobi. Tapi ketika dia pindah rumah 3 tahun yang lalu, memasak bukan hanya sekadar hobi, tapi usaha untuk lebih mengenal tetangganya.
That boy who lives next door. Jodi Erlangga Hartanto.
Hobi yang biasanya hanya Joanna lakukan untuk dirinya sendiri kini berubah menjadi rutinitas yang dia jalani setiap hari, dengan hasil yang selalu dinikmati bersama dengan Jodi.
Tidak hanya sampai di situ. Rupanya kedekatan mereka tidak berakhir sebatas makan dan masak bareng, tapi juga berlanjut ke kampus bareng, naik motor bareng, berada di kelas yang sama, dosen yang sama, bahkan fakultas dan jurusan yang sama, kemudian pulang ngampus bareng dengan motornya Jodi. Semua dilakukan bareng-bareng.
Sebelas dua belas sama Phineas dan Ferb. Kemana-mana bareng.
Berawal dari perdebatan dengan topik micin itu tidak bagus untuk dikonsumsi terlalu sering, Joanna dan Jodi akhirnya menghabiskan waktu mereka dengan memasak di rumah lalu makan bersama, entah itu makan di sekolah atau pun makan di rumah.
Bingung kenapa? Sampai sekarang juga Joanna bingung kenapa. Tapi yang jelas, that was a great thing. Thank one’s lucky star*.
(*other way to express that you feel really grateful.)
Buat Jodi, paling tidak lidahnya harus merasakan masakan Joanna sekali dalam sehari.
“Sering-sering masak, Jo. Biar gue nggak beli baso pake micin di Mang Usep,” kata Jodi yang masih asik makan di rumahnya, masih dengan seragam putih abu-abunya. Spontan Joanna langsung menoyor lengannya.
Ini kebiasaan Joanna. Selalu menoyor lengan Jodi dan itu terjadi hampir setiap hari. Jodi kadang mengejek toyoran Joanna dengan, “Lo kalau mau ngebelai bilang aja, nggak perlu sok ninju. Nggak ada rasanya.”
Bukan belaian yang Jodi dapat di detik berikutnya, tapi toyoran yang lebih keras.
Kadang sakit sih, tapi Jodi tahu Joanna memukulnya bukan karena cewek itu marah. That’s how that girl express her love. Begitu menurut Jodi.
“Lo nih, nyuruh gue masak sengaja biar nggak jajan?”
“Salah satu alasannya itu.” Jodi tertawa sebelum kembali menyuapi mulutnya dengan nasi liwet yang Joanna buat. “Tapi alasan utama ya, biar gue jauh-jauh dari micin.”
“Cuman itu?” tanya Joanna lagi, dan kali ini menggelengkan kepalanya.
“Terus?”
“Nyokap gue bilang, masakan rumah itu lebih bagus ketimbang makanan pinggir jalan. Jadi, sebagai anak yang baik dan rajin menabung, gue nurut.”
“Boleh di ralat kali bagian ‘baik dan rajin menabung’-nya, Jod. Najisin.”
Untuk beberapa detik keduanya tertawa, sampai akhirnya suara Jodi memecah suara tawa itu.
“No, serius nih gue. Makan masakan rumah tuh berasa gue tuh udah jadi orang kantoran yang dimasakin mulu sama istri,” kata Jodi lagi. Dia kemudian menenggak air putih yang ada di dekatnya. Untuk beberapa detik Jodi memandangi Joanna yang ada di depannya sebelum kembali menyantap nasi liwetnya yang belum habis.
Joanna sempat balik memandangi Jodi sambil berdecih. “Tapi yang masak gue, bukan istri lo, Jodi. Lo tamat SMA aja belum udah ngomongin suami istri. Ngebet nikah, Bang?”
“I know. Tapi kan ke depannya gue bakal nikah, bakal punya istri.”
“Mikirnya kecepetan.”
“Kalau bisa cepat, kenapa harus nunggu mikir nanti?” Jodi mengangkat sebelah alisnya. “Lagian nih ya, gue udah nemu calon istri yang cocok, yang gue jamin bisa masak buat gue tiap hari.”
Dahi Joanna mengernyit, “Really?”
“Ya.”
“Who?”
Untuk beberapa detik ruang makan terasa hening. Jodi masih tetap dengan gayanya yang stay cool, dengan fokus matanya yang tertuju pada Joanna.
“Ya lo lah, Joanna Hadid. Jadi istri gue ya nanti?”
Ya, ini dia Joanna Hadid. Anak farmasi yang sudah dilamar bahkan oleh tetangganya sendiri saat masih duduk di bangku SMA.
Memasak adalah hobinya. Tapi dengan Jodi, hobi itu berubah jadi kewajiban.
Joanna Hadid memasak, dan Jodi Erlangga Hartanto siap memberikan hatinya untuk si koki.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Unknown (✓)
ChickLit[Short Stories] Love is unknown, but love is not blind. It sees more not less. But because it sees more, it chooses to see less. #121 in ChickLit: 10.14.2017 Started: June 10, 17.