Dedicated for reiihope yang dari kemaren kemaren heboh saha Hamish😏
***
Dari semua anggota geng, mungkin Hamish yang paling sering diteriaki jomblo strong.
Jomblo stres tak tertolong.
Tapi Hamish tidak mau kelihatan sebegitu jomblonya. Oh, ralat. Dia tidak jomblo. Yang ganteng begini kok diteriaki jomblo?
Kalau ditanya, sebenarnya Hamish masih sendiri karena ada alasan. Alasan menunggu orang yang tepat. Dan Hamish merasa ada satu perempuan yang tepat untuk diberikan hatinya.
Tepatnya di bulan April di hari rabu minggu kedua, Hamish bertemu dengan gadis itu.
Rambutnya sebahu, manis—Hamish bisa langsung menebak kalau gadis itu ada darah Jawanya. Dan gadis itu datang ke perpustakaan bersama dengan Aya, pacarnya Juna.
“Eh, Bang Hamish.”
Hamish pura-pura bertingkah seakan tidak sadar kehadiran Aya. Kepalanya menoleh, “Oh, Aya. Lagi ngapain di sini?”
“Bantuin teman nyari buku,” celetuk Aya. Tangannya kemudian menarik gadis yang sejak tadi mencuri perhatian Hamish. “Nah, ini, Bang.”
Gadis itu tersenyum lembut kemudian sedikit menundukkan kepalanya.
Aya kemudian kembali mengeluarkan suaranya. “Kenalin, Bang, namanya Fahra. Mahasiswa baru SAPPK.”
“Oh, anak SAPPK juga?”
Gadis yang baru saja Hamish ketahui namanya itu—and, gosh, Hamish benar-benar suka nama itu karena kelihatan ayu dan cocok dengan si gadis—tersenyum dan mengangguk pelan.
“Bang Hamish anak PWK nih, Fa.”
“Eh iya?”
Hamish mengangguk pelan. Melihat ada kesempatan—hey, yang namanya pendekatan itu harus ada usaha, right?—Hamish langsung bertanya, “Nyari buku buat apaan? Tugas?”
“Iya, Kak. Dosen ngasih tugas buat matkul kimia.” Terdengar helaan napas kecil dai bibir Fahra.
“Anak sapek* belajar kimia juga ya, Bang?” tanya Aya. Hamish yang mendengarnya tertawa.
(*sapek: slang untuk menyebut SAPPK.)
“I know, kelihatan nggak penting, kan? Tapi mata kuliahnya tetap aja ada,” kata Hamish yang masih tertawa. Dia kemudian bergeser ke kursi di sampingnya. “Kalian berdua duduk dulu sini. Nggak enak berdiri terus.”
Begitu Fahra dan Aya duduk, Hamish kembali mengeluarkan suaranya. Di menit-menit berikutnya, percakapan mereka tak jauh dari mata kuliah dan dosen. Hanya itu saja, tapi rasanya pembicaraannya menyenangkan sekali. Unexpectedly, ternyata Fahra termasuk orang yang gampang akrab dan friendly. Nyatanya dia dan Hamish sudah lancar tanya-jawab, Aya jadi bingung sendiri.
Setelah mengobrol panjang lebar, handphone Aya bergetar. Cepat-cepat Aya berdiri, permisi sebentar kemudian mengangkat teleponnya.
Hamish dan Fahra diam, seakan menunggu Aya kembali. Beberapa menit kemudian Aya kembali, namun gadis itu segera mengambil tasnya.
“Duh, Fa, maaf. Aku dipanggil sama Pak Sam buat ngawas ujian bahasa Inggris anak teknik mesin. Kutinggal nggak apa-apa?”
“Ada ujian malam gini?” Fahra balik bertanya dan Aya mengangguk.
“Pergi gih, Ya. Pasti ditungguin. Aku juga udah mau pulang.”
“Lah tapi motor kamu kan baru di bawa ke bengkel tadi siang, Fa.”
Entah Aya dan Fahra mengobrol dan lupa kehadiran Hamish di situ, namun Hamish jelas mendengarnya. Laki-laki itu menunggu Aya dan Fahra selesai mengobrol baru akhirnya dia menyeletuk.
“Biar aku aja yang antar.”
Baik Aya maupun Fahra langsung menoleh. Diam. Kembali, Hamish bertanya, “Emang rumahnya di mana?”
“Di Dago, Bang. Dekat Baltos.” Yang ditanya padahal Fahra, tapi justru Aya yang menjawab.
“Kebetulan aku lewat Baltos. Bareng aku aja,” celetuk Hamish lagi. Oke, sebenarnya Hamish bohong. Dia tidak berencana ke Baltos, dia hanya mau pulang, dan rumahnya juga di daerah Cihampelas, tidak sama sekali lewat Baltos.
Tapi, sekali lagi, yang namanya pendekatan itu butuh usaha. Jadi anggap saja ini usaha Hamish.
Dan lagipula, Hamish tidak menyesal karena berbohong hari itu. Kebohongan Hamish di bulan April justru membawa sebuah keberuntungan.
Bukan hanya karena dia jadi lebih dekat dengan Fahra, membonceng si gadis cantik itu dan tahu di mana rumahnya.
Tapi kebohongan itu juga yang membuat Hamish di malam ini, satu hari sebelum malam tahun baru mulai, bisa memarkirkan motornya di depan rumah Fahra dan masuk menemui Ibu Fitriani, ibunya Fahra.
“Malam, Bu.”
“Eh, Bang Hamish datang. Ayo masuk. Fahranya ada di dalam.”
Sosok Fahra menghampiri Hamish, dengan kebaya modern yang justru membuat Fahra kelihatan lebih ayu.
“Mbak Feni di mana, Fa?”
“Di dalam. Lagi siapin si Dedek buat syukuran.”
Hamish mengangguk pelan kemudian tersenyum. “Enak, ya?”
“Enak apaan, Kak?” tanya Fahra.
“Mbak kamu sama Mas Dira. Sekarang udah punya anak. Nggak kerasa udah 7 bulan malah di Dedek.”
“Mereka serasi, kan? Aku jadi iri,” Fahra menyahut sambil tertawa. “Kadang ngelihat mereka jadi pengin nikah juga.”
Ucapan Fahra langsung membuat Hamish menolehkan kepalanya. Untuk beberapa saat, laki-laki itu diam, mencoba menahan diri tapi pada akhirnya kalimat itu keluar begitu saja dari bibirnya.
“Tahun depan setelah aku tamat S2, mau nggak nikah sama aku, Fa?”
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Unknown (✓)
ChickLit[Short Stories] Love is unknown, but love is not blind. It sees more not less. But because it sees more, it chooses to see less. #121 in ChickLit: 10.14.2017 Started: June 10, 17.