Ade pernah baca di salah satu buku kalau di saat seseorang jatuh cinta, they will do anything for the one that they love. Satu fakta yang kelihatan konyol tapi sebenarnya benar.
Dan karena pernyataan itu, Ade jadi memikirkan hal yang tidak-tidak saat pagi hari Juna dan Dimas datang ke rumah. Dan setelah selesai sarapan bareng, Dimas menawarkan diri dengan, “De, mau Mas antarin ke sekolah nggak?”
Ade mati-matian berusaha untuk mengontrol pikirannya. Astaga, ini bukan sesuatu yang spesial, bukan? Ini hanya hal yang biasa.
Tapi rasanya lebih dari biasa di saat Dimas mempercepat laju motornya, lalu dengan entengnya meraih tangan Ade dan melingkarkannya pada pinggangnya. “Udah mau telat nih, jadi Mas agak ngebut ya? Ade pegangan, jangan sampai jatuh.”
Sialan. Kalau begitu dia bisa jatuh.
Jatuh hati maksudnya.
Ade bertanya-tanya, yang dia dapatkan hari ini berkat atau kutuk sebenarnya? Dia senang, tentu saja. Dia merasa begitu dekat dengan Dimas. Tapi di sisi lain, dia merasa kalau yang seperti ini nggak sehat buat jantung. Berbahaya.
Jantungnya seakan berlari lebih cepat ketimbang laju motor Dimas sekarang.
Perlahan Dimas memelankan laju motornya, menghentikan motornya tepat di depan gerbang sekolah. Begitu Ade turun, Dimas langsung membukakan helm yang menutupi kepala Ade selembut yang dia bisa.
“Kamu pulang jam berapa nanti, De?” tanya Dimas selagi meletakkan helm yang Ade pakai di motornya.
“Jam empat kayaknya sih, Mas. Ada tambahan hari ini.” Ade bergerak untuk merapikan rambutnya, tapi tugas tersebut dengan cepat diambil alih oleh Dimas.
Tangan Dimas dengan sigap—namun lembut mulai merapikan rambut Ade.
Ah, sial. Jantungnya mulai lagi.
Pagi begini jantungnya sudah olahraga duluan.
“Nanti Mas jemput ya? Hari ini sampai malam bakal di rumah terus. Malamnya baru balik ke kosan sama Juna.”
Well, sebenarnya itu bohong. Dimas sebenarnya sudah bisa kembali ke kampus siang nanti. Dia dan Juna hanya mau membenarkan laporan sedikit.
Dimas berbohong.
Tapi dia tidak bisa melewatkan kesempatan begini, bukan? Jarang sekali dia bisa mengantar dan menjemput Ade ke sekolah.
Hitung-hitung sekalian latihan kalau nanti jadi istri terus minta diantar jemput. Dimas bergumam dalam hati. Lucu sekali pikirannya ini, sudah berimajinasi ke mana-mana.
Bodoh namanya kalau Ade menolak. Dengan malu-malu dia mengangguk.
“Nanti sekalian temenin Mas ya pas pulang?”
“Ke mana, Mas?”
“Ke mana ya?” Dimas pura-pura berpikir kemudian tertawa. “Mas kemarin janji mau traktir karena nilai try out terakhir kamu.”
Oh, hadiah yang waktu itu. Ade ingat Dimas pernah bilang kalau nem try out UN-nya di atas 32.00, Dimas akan memberinya sesuatu.
Padahal Ade berharap dia dapat Dimasnya langsung, nggak perlu traktirannya. Tapi, mana bisa begitu.
It’s okay, though. Itu berarti dia bisa menghabiskan waktunya dengan Dimas, bukan? Just like what a couple do.
Meskipun mereka tidak memiliki hubungan apa pun, izinkan Ade untuk merasa mereka memiliki sesuatu yang spesial. setidaknya, mereka bisa jalan-jalan dan makan bersama. Just the two of them.
Dimas tersenyum ketika melihat reaksi Ade. Cowok itu kemudian menggerakan tangannya untuk mengelus puncak kepala Ade.
“Belajar yang baik ya, De,” kata Dimas. “Mas tunggu nanti ya.”
Ade mengangguk lalu melangkah masuk ke dalam sekolah.
Entah kenapa, hari ini dia jadi bersemangat. Dia akan menyelesaikan aktifitasnya hari ini.
Karena dia tahu seseorang menunggunya.
Rupanya begini rasanya ditunggu seseorang.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Unknown (✓)
ChickLit[Short Stories] Love is unknown, but love is not blind. It sees more not less. But because it sees more, it chooses to see less. #121 in ChickLit: 10.14.2017 Started: June 10, 17.