Intuisi

25 1 0
                                    

"Intuisiku, s'lalu mengarah kepadamu. Tapi tak jua, kau hiraukan aku."

--

"Heh, monyet! Lo dengerin gue gak sih dari tadi? Gue udah nyerocos dari A-Z dan lo gak dengerin gue?" protes Melly.

Dara, orang yang dari tadi diajak berbicara dengan Melly hanya memutar kepalanya ke segala area kantin, seperti mencari sesuatu atau lebih tepatnya seseorang.

"Heh, kutu! Lo ngapain sih? Gue ada di depan lo, jadi lo gak perlu nyariin gue."

Dara memutar kedua bola matanya, "Pede banget lo gue cariin. Lo mah, tinggal buka tutup sampah udah ketemu."

"Sialan, lo. Lo nyari siapa, sih?"

Hening sejenak sebelum Melly melanjutkan, "Lo nyariin dia lagi? Kagak bosen apa lo nempel dia mulu. Eh, maksud gue, dia gak bosen apa lo tempelin mulu."

"Brisik, lo, ah. Dah, ya. Lo makan aja sendiri. Gue mau pergi dulu. Bye!" ujar Dara seraya melambaikan tangan ke arah Melly menjauhi kantin.

Berbalik badan, Dara melihat Melly menyumpahinya dengan berbagai macam kata yang pantasnya di sensor. Dara tertawa kecil melihat tingkah temannya itu.

Sepanjang perjalanannya, Dara berusaha melongokkan kepalanya ke segala arah, berusaha mencarinya.

Ketika memasuki area taman belakang yang sepi, Dara berhenti melangkah. Dirinya memejamkan mata dan mulai mengangkat kedua tangannya ke atas kepalanya membentuk antena. Jika tingkahnya ini dilihat oleh Melly, sudah dipastikan dirinya dikatain tidak waras. Mungkin bukan hanya Melly, tapi orang lain juga akan berpikiran seperti itu.

Seperti mendapat penglihatan, Dara mulai melangkahkan kakinya ke salah satu area sekolah yang memang belum diperiksanya. Dan sudah pasti orang yang dicarinya ada disana.

Baru saja dirinya membuka pintu ruangan, terdengar alunan musik yang sedari dulu selalu disukai olehnya. Melangkah hati-hati, Dara akhirnya memutuskan untuk duduk di tribun penonton saja, seraya menunggu konser solo tersebut selesai.

Ketika sang pemain telah memainkan nada akhir dari lagu tersebut, Dara bertepuk tangan dengan keras dari arah tempat duduknya, diiringi senyum manisnya.

Melihat Dara di tribun penonton itu, sang pemain segera melangkahkan kakinya menuju Dara dan duduk di sebelah Dara. Dara langsung saja menyodorkan makanan yang tadi sempat di beli di kantin ke arah sosok itu. Lelaki itu, Bara, langsung menerimanya dengan senyum lebar. Sejenak, keduanya memilih hening, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Lebih tepatnya hanya Dara, karena Bara sudah asyik dengan makanan yang diberikan Dara.

"Lo gak bosen apa, setiap harinya pacaran sama gitar mulu. Udah gitu mainnya di ruang musik lagi. Mana ada yang mau denger, Bara," ujar Dara memulai pembicaraan.

Bara tersenyum mendengar gerutuan Dara disebelahnya.

"Lo juga. Lo gak bosen apa setiap harinya berkutat sama laptop, nulis cerita disana, tapi cuma lo simpen sendiri. Gimana mau ada yang baca?" kekeh Bara, seraya mengacak-acak rambut tipis Dara.

Ditolehkan kepalanya ke arah Dara. Dara hanya mengerucutkan bibirnya. Melihat itu, Bara tersenyum kecil.

"Oh, ya. Lo kok tau kalo gue ada disini?" tanya Bara mengalihkan pembicaraan.

"Tau dong. Gue kan punya antena ajaib yang srlalu terhubung ke elo. Jadi gue selalu tau lo dimana," jawab Dara seraya tersenyum lebar memperlihatkan giginya. Dilihatnya Bara sudah asyik dengan gitar di pangkuannya setelah memakan habis makanan tadi.

"Bar!" panggil Dara setelah sekian menit mereka diselimuti keheningan.

Bara hanya menjawab dengan gumaman karena dirinya sedang asyik memetik gitar, menciptakan nada yang selalu membuat hati Dara menghangat.

"Gue boleh tanya gak?"

"Kok tumben?" Yang hanya dibalas cibiran oleh Dara.

"Perasaan jatuh cinta itu, kayak gimana sih?"

Bara mengerutkan dahinya. "Lo lagi jatuh cinta?"

"Ya enggak," elak Dara. "Cuma nanya doang gue," lanjut Dara seraya memutar tubuhnya hingga sepenuhnya menghadap ke arah Bara.

Bara termenung sejenak. Memikirkan jawaban apa yang tepat untuk dilontarkan kepada Dara, yang notabene seorang gadis yang pikirannya sedang dipenuhi oleh kisah fiksi zaman sekarang.

"Hmmm...."

"Lama ya lo mikirnya"

Bara melontarkan senyum tipis yang mampu membuat hati Dara seketika menghangat.

"Menurut gue, perasaan jatuh cinta itu terlalu rumit. Susah buat dideskripsiin. Apalagi, pemikiran cowok sama cewek kan beda."

Dara mencibir pelan, "Jawaban lo memuaskan banget."

Kembali mereka larut dalam pikiran masing-masing selama beberapa saat. Hingga pada akhirnya Bara kembali memecah keheningan.

"Lo tau gak apa yang indah dari senja?"

"Kenapa lo tiba-tiba keluar topik?"

"Jawab aja"

"Gak tau, lah."

"Senja itu unik. Banyak pendapat mereka tentang senja. Ada yang cuma sekedar suka sama warna yang tercipta saat matahari tenggelam, dan ada juga yang suka filosofi dibalik senja."

"Filosofi?" tanya Dara mulai tertarik.

"Ada dua tipe orang yang tahu filosofi dibalik senja. Yang pertama, mereka merasa mendapatkan harapan dibalik tenggelamnya senja, karna mereka percaya bahwa Tuhan merencanakan sesuatu dibaliknya."

Sejenak Bara berhenti memperhatikan reaksi Dara. Melihat Dara semakin tertarik, Bara melanjutkan, "Dan tipe orang yang kedua adalah, mereka merasa senja adalah akhir dari pertemuan yang terjadi di hari itu. Mereka menganggap dengan tenggelamnya senja, itu berarti berakhir juga kisah seseorang saat itu."

Bara menarik nafas sejenak, "Menurut lo, arti senja yang sebenarnya yang mana?"

"Yang pertama, lah," jawab Dara tanpa berpikir.

"Nah, tepat. Gue juga setuju sama lo.Menurut gue, jatuh cinta tuh kayak senja. Banyak persepsi kan dibaliknya. Dan dengan jatuh cinta, orang bisa lebih berharap akan hari esok, akan apa yang Tuhan rencanakan dengan akhir kisah cinta mereka. Tapi mereka yakin bahwa mereka akan memiliki akhir yang indah."

Sejenak, Dara takjub akan penjelasan Bara. Dirinya termenung sejenak memikirkan penjelasan Bara.

"Lo sendiri?" tanya Dara. Melihat reaksi Bara yang hanya mengangkat alisnya, Dara bertanya lebih lanjut, "Ya, lo sendiri percaya akan adanya keindahan dibalik jatuh cinta itu?"

"Gue percaya, kok, kalau rencana Tuhan itu akan selalu indah pada akhirnya."

"Kalo semisal, ada orang yang suka sama lo gimana?"

"Ya, kalo boleh jujur, sih. Gue bakal nyuruh dia nunggu gue. Gue pingin sama lo dulu aja. Sampai lo nemu seseorang yang tepat buat lo, yang bisa bikin lo bahagia."

"Gimana lo yakin ada yang bisa bikin gue bahagia?"

"Suatu saat, gue yakin, orang itu ada, Ra," jawab Bara yang kemudian dirinya kembali sibuk dengan gitar di pangkuannya.

"Kalo nyatanya lo yang bisa bikin gue bahagia, gimana?" tanya Dara yang sayangnya pertanyaan tersebut hanya gumaman yang dapat di dengar oleh dirinya sendiri.

---

Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang