ALEA'S POV
Aku merutuki diriku sendiri yang bodoh dan konyol ini. Aku terus menatap kompor yang ada didepan mataku dengan kobaran api yang menjadi-jadi. Aku tidak tahu harus berbuat apa, semuanya hangus, tinggal api yang bergulat kesana kemari. Katakan aku bodoh karena tidak tahu cara mematikan kompor. Aku mengigit bibir bawahku dalam-dalam.
Tidak lama kemudian tatapanku beralih kearah suara bas khas seorang pria yang langsung membulatkan matanya saat melihat kondisi dapurnya yang mengenaskan.
Pria itu langsung melepas jas kerjanya kemudian ia masuk kedalam kamar mandi entah apa yang ia lakukan. Lalu ia kembali dan melemparkan jas itu kearah kompor yang terbakar. Seketika itu pula, api sudah padam. Tidak ada kobaran api.
"Lo gila ya?!" Aku menoleh menatapnya. Tatapan mata itu begitu tajam mengarah padaku.
"Lo mau bikin dapur gue kebakar?!" Tanyanya lagi seolah-olah ia belum puas untuk bertanya.
"Al!" Ia menjerit memanggil namaku.
"Lando, maaf.. Aku-"
"Apa yang lo pikirin? Biasanya lo nggak pernah teledor kayak gini." Ucapan Lando meninggi membuatku sedikit merinding karena suaranya yang begitu menakutkan. Aku juga tidak tahu, aku tidak tahu mengapa aku bisa begini? Mengapa aku bisa lupa untuk mematikan kompor? Menagapa aku takut pada kompor? Entah, itu membingungkan. Api itu yang membuatku takut dan sekarang aku lebih takut karena Lando terus memakiku dan menyalahkanku.
"Lando, aku takut.. Aku lupa.. Aku-"
"Gue harus pergi dan gue harap lo nggak akan pernah bikin gara-gara kayak gini lagi. Gue nggak suka." Pontong Lando cepat tanpa memberikan waktu untukku menjawab semua pertanyaannya. Ia pergi meninggalkanku begitu saja.
Aku mendesah pelan. Aku juga masih bingung, mengapa aku seperti ini. Mengapa aku aneh? Mengapa? Mengapa? Mengapa?
Pusing. Sakit. Perih. Hanya itu yang aku rasaka. Aku langsung menjambak rambutku kuat-kuat. Rasanya begitu sakit menjalar kedalam otakku. Ingin rasanya aku melepas kepalaku dan melemparnya kesembarang tempat agar rasa sakit ini tidak terasa lagi.
"Aaaaaaa!" Aku menjerit tak tertahan. Aku menangis. Semua ini begitu menyiksaku. Sebelumnya aku tidak pernah merasa seperti ini.
"Alea!" Suara itu tak membuatku menghentikan tanganku untuk semakin meremas rambutku kuat.
Tanganku ditarik dan ditahan. Sekolah-olah orang yang sudah ada disampingku tidak mengizinkanku untuk melakukan apa yang tengah aku lakukan.
"Berhenti, Al! Lo nyakitin diri lo sendiri!" Masa bodoh. Aku tidak peduli. Dia tidak tahu rasanya menjadi aku, rasanya merasakan sakit ini.
"Al!" Lagi-lagi ia meneriakiku.
Aku menggelengkan kepalaku. Baru ku ingat kalau penyakit itu. Penyakit itu yang membuatku seperti ini. Membuatku seperti orang bodoh yang tidak tahu apa-apa.
Aku tertawa sumbang sambil terus meremas rambutku dan menangis. "Al, ini gue Vina.. Sadar.. Lo harus minum obat."
Aku menggeleng lagi. Aku tidak mau, aku tidak mau meminum obat laknat itu lagi. Obat itu banyak dan pahit. Sialan, mengapa harus begini? Mengapa semakin parah? Perasaan kemarin aku baik-baik saja. Seakan-akan penyakit itu sudah lenyap ditelan bumi.
Tapi sekarang! Penyakit itu kembali dan memberikan sensasi buruk padaku.
Vina menyodorkan 3 butir obat padaku menyuruhku untuk meminumnya, mau tidak mau aku meminumnya. Membiarkan rasa pahit itu menjalar kedalam kerongkonganku.
Aku menahan nafasku perlahan lalu menghembuskannya perlahan.
"Al, kenapa jadi begini?" Aku mendengarnya. Suaranya begitu pelan dan khawatir. Ia mengelus punggungku lembut. Aku menggelengkan kepalaku.
"Obat itu pahit." Ucapku pelan namun dapat ditangkap oleh pendengaran Vina.
"Lo harus sembuh, Al.. Lo harus lawan penyakit itu.."
"Aku nggak akan sembuh.. Nggak akan pernah, walaupun aku mengonsumsi obat laknat itu setiap hari. Tetap saja aku tidak akan sembuh, Vin.. Semuanya percuma." Bantahku cepat. Memang benar, dokter Helen yang mengatakan itu padaku.
"Tapi, setidaknya lo harus berusaha untuk sembuh."
Aku kalut. Mataku langsung menajam kearah Vina. Aku menatapnya sangat dalam "Aku capek! Selama ini aku terus berjuang, tapi apa hasilnya?! Semuanya bertambah parah, semuanya menjadi hilang dari otakku!" Aku menjerit. Aku kalut. Aku marah padanya. Aku marah pada dunia ini yang sudah tidak adil padaku.
Aku hanya ingin bahagia. Mengapa Tuhan masih belum bisa memberikanku kebahagiaan? Sudah cukup rasa sakit yang diberikan oleh Lando. Aku tidak ingin ada rasa sakit yang lain.
"Al.. Lebih baik lo tinggal serumah sama gue aja.." Aku menggeleng tidak setuju. Walaupun Lando jahat padaku, sebagai istri yang baik tidak akan pernah meninggalkan suaminya sendiri.
"Aku nggak bisa." Vina mendesah pelan kemudian ia duduk disebelahku.
"Lo mau masak?" Tanyanya setelah kami terdiam cukup lama. Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Lo mau makan apa? Biar aku yang masak."
"Sup jagung.." Vina mengangguk kemudian ia berkutat pada peralatan dapur.
___________________
Aku menatap Vina yang sedang meletakkan semangkuk sup jagung untukku. Kemudian aku mengambil sendok untuk menyuapkan sesendok sup kedalam mulutku. Tapi, Vina langsung menahan tanganku.
"Sendoknya terbalik." Oh, aku terkekeh pelan kemudian membalikkan sendoknya dengan benar kemudian menyendokkan beberapa suap sup kedalam mulutku. Aku benar-benar lapar sekarang.
"Pelan pelan aja kali, Al.. Makannya.. Nggak usah ngebut kayak gitu." Vina terkekeh pelan dan aku hanya tersenyum kikuk. Mungkin karena aku terlalu lapar jadi seperti ini.
"Harus ku akui kalau masakkanmu sangat enak.." Balasku sambil menelan sesuap sup terakhirku.
"Terima kasih.." Vina tersenyum.
Aku beralih menatap Vina. Wanita yang selalu menemaniku setiap saat, disaat senang maupun sedih. Aku jadi merasa resah, bagaimana kalau penyakit ini semakin memburuk dan berakhir menyedihkan? Bagaimana kalau penyakit ini melumpuhkan semuanya? Bagaimana kalau aku tidak bisa melakukan apapun selain terbaring lemah diatas kasur? Dan bagaimana kalau aku sudah tidak memiliki semangat hidup lagi? Hah, pertanyaan berawalan bagaimana itu beruntuttan membuatku pusing.
____________
TBC
Dikit dikit dulu.. Ntar jadi bukit wkwkwk..
Happy reading.
Jangan lupa vote + komentar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Still Here
Romance"Ini semua gara-gara lo ! Kalau aja lo nggak ngajak gue buat hadir keacara pernikahan masal sialan itu, kita nggak akan nikah tiba-tiba kayak gini !" Sentak Lando murka. Pria itu terus menatap tajam kearah Alea yang tengah menundukkan kepalanya samb...