Alea POV
Aku berjalan dan terus berjalan menelusuri aspal yang sedikit meretak. Entah apa yang aku pikirkan, entah apa yang aku rasakan tapi semua ini benar-benar menyiksa batinku. Aku menangis dibawah sini. Jalanan yang cukup sepi ini sudah lebih dari baik untuk mengubah suasana hatiku menjadi lebih fresh dari sebelumnya.
Dia kembali.
Kembali untukku, tapi dengan berubahnya dia. Itu merubahku juga. Aku tidak bisa. Hatiku sudah terlalu hancur, yang tadinya hanya hancur menjadi sebuah serpihan kecil, kini berubah menjadi sebuah debu yang mematikan.
Pikiranku berkecamuk. Haruskah aku kembali padanya?
Tidak. Jawabannya adalah tidak. Dia membuangku, mengacuhkanku, memakiku, mengabaikanku. Bohong kalau dia menginginkanku, menjagaku, dan merawatku. Semua itu karena kasihan.
Aku berhenti melangkah, lalu menyandarkan tubuhku pada tembok yang dijadikan pembatas jalan. Tubuhku seketika kebas. Aku sudah muak dengan derita ini. Tubuhku merosot kebawah. Aku meremas rambutku dan menangis dengan dua tanganku yang bertumpu diatas kedua lututku. Menggigit bibir bawahku untuk menahan semua keluh kesahku yang akan ku jadikan sebuah jeritan maut.
Ini kota, bukan hutan.
Aku tidak mungkin melakukan itu ditempat yang seperti ini.
"Alea." Sontak aku langsung mendongak, menatap pria yang tengah memakai sweater gradasi putih abu-abu dengan tulisan KILL ME. Dia menatapku juga dari atas sana.
"Lo—"
"Aku nggak apa apa.." Aku langsung menyela ucapannya dan kemudian bergegas untuk berdiri kembali. Tapi...
Kenapa?
Kenapa begini?
"Ada apa, Al?"
Aku tidak menggubrisnya. Aku terus berusaha untuk berdiri namun kakiku benar-benar tak terkendali. Rasanya tulang-tulang yang memenuhi kakiku kini berubah menjadi sebuah jelly.
"Biar gue bantu."
"Nggak!" Aku terus berusaha dengan sekuat tenagaku. Tapi, tidak bisa.
Ada apa?
Ada apa dengan diriku?
Aku menangis kembali dibawah sini, aku bingung dengan semua ini, aku bingung dengan penyakit ini. Apa lagi? Apa lagi yang penyakit ini lakukan untuk tubuhku?
Aku kesal, aku marah. Marah pada kenyataan ini. Marah pada diriku sendiri.
Aku terus memukuli kakiku yang sialannya tidak mau bergerak.
"Al, jangan nyakitin diri lo sendiri." Katanya khawatir, akan tetapi aku tidak memperdulikannya. Siapa tau dengan aku memukuli kakiku sendiri. Aku bisa berdiri kembali.
"Al!"
Aku tetap tidak memperdulikannya. Mengapa harus aku yang ada diposisi ini?
Tubuhku melayang. Bokongku sudah tidak menapak lagi diatas aspal. Aku mendongak keatas menatap pria yang bersweater ini tengah menggendongku.
"Rendy! Turunin aku! Aku bisa jalan sendiri!" Aku memukuli dadanya tapi dia tetap acuh tak menggubrisku. Ia terus berjalan seolah pukulan yang ku berikan tidak ada apa-apanya.
Ia masuk kedalam sebuah rumah minimalis dan beberapa detik kemudian ia merebahkan tubuhku diatas sofa yang terbuat dari kain beludru.
"Ren—"
"Diem, Al." Perintahnya, kemudian ia berjalan meninggalkanku untuk masuk kedalam sebuah lorong yang tidak bisa ku lihat dengan jelas.
Tanganku masih bisa bergerak walaupun sedikit. Hanya sedikit.
Mengapa cepat sekali? Mengapa harus begini?
Memoriku berputar 180° mengenai mimpiku. Mimpi itu... Nyata.
Gigiku bergemeretak kala aku merasakan sebuah denyutan hebat pada kepalaku. Tubuhku menegang.
Aku merasakan sebuah cairan keluar dari dalam hidungku. Apa lagi ini?
Aku mengangkat tanganku dengan pelan. Seakan waktu ini sedang diperlambat.
Aku melihat ada bercak darah ketika aku sudah menyentuh cairan yang keluar dari dalam hidungku.
Ini hebat.
Penyakit ini melumpuhkanku. Entah sampai kapan aku akan bertahan dengan semua ini. Yang jelas aku sudah menyerah.
"Al." Aku menelan ludahku kemudian menoleh menatap Rendy.
Ia terpaku menatapku, "Lo mimisan.."
Ia berjalan mendekatiku, menarik selembar tisu yang ada diatas meja kemudian menghapus darah yang keluar dari hidungku."Ren..." Aku memanggilnya dan ia berdehem.
"Kenapa kamu masih peduli sama aku?" Tanyaku padanya dan ia berhenti melakukan aktivitasnya untuk menghapus darah yang ada dibagian sisi hidungku.
"Kenapa? Lo nggak suka?" Tanyanya lalu tangannya kembali bergerak.
Aku diam tak menggubrisnya. Dia pria yang baik, bahkan bisa ku katakan kalau dia jauh lebih baik dari Lando. Tapi, entah mengapa hati ini benar-benar sulit untuk menerimanya.
"Al, gue cuma pengen lo tau kalau gue sayang sama lo melebihi lo sayang sama Lando." Katanya memaksaku untuk mengetahui semua isi hatinya. Aku menganggukkan kepalaku.
"Aku ngerti."
"Terus lo masih mau bertahan sama Lando? Sadar, Al... Lando nggak peduli sama lo.. Dia jauh lebih peduli sama Karin dan lo harus paham itu. Hati Lando bukan buat kamu."
"Dan itupun sama sepertiku, Ren.. Hatiku juga bukan buat kamu." Aku membalas ucapannya dengan cepat.
"Aku nggak maksa kamu buat cinta sama aku... Karena aku tahu bahwa cinta akan tumbuh dengan sendirinya seiring berjalannya waktu tanpa ada paksaan." Katanya lalu membuang tisu bekas mimisanku kedalam tempat sampah yang ada disebelah vas bunga.
"Jadi, jangan paksa aku." Jawabku cepat lalu memejamkan mataku untuk menghindari kata-kata yang akan semakin membuatku tidak nyaman.
____________
Tbc yaa.
Dikit dulu sabar hehe😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Still Here
Romance"Ini semua gara-gara lo ! Kalau aja lo nggak ngajak gue buat hadir keacara pernikahan masal sialan itu, kita nggak akan nikah tiba-tiba kayak gini !" Sentak Lando murka. Pria itu terus menatap tajam kearah Alea yang tengah menundukkan kepalanya samb...