Chapter 8 : But, I love you

8.4K 490 47
                                    

Aku hancur. Tubuhku tidak sekuat dulu, semuanya semakin membuatku melemah. Aku seperti lembaran daun yang sudah layu, tidak dapat berdiri tegak. Aku rapuh. Aku membutuhkannya, aku membutuhkan pelukkannya, kecupannya disetiap pagi hari menjelang.

Tidak ada yang bisa ku harapkan darinya. Cinta? Hahaha, tidak ada. Sama sekali tidak ada.

"Alea, kayaknya kita harus kerumah sakit deh.." Aku menggeleng sebagai jawaban.

"Lo muntah-muntah kayak gini udah seminggu, terus lo sering teriak-teriak karena kepala lo sakit.. Kita harus ke rumah sakit.. Kita harus tau, sudah sejauh mana penyakitmu berjalan.." Aku membalikkan tuhuhku menatap Vina. Bisa ku lihat sorot matanya yang cemas dan takut.

"Aku nggak apa-apa, Vin.." Balasku.

"Nggak apa-apa gimana? Lo udah parah, penyakit lo tambah parah.. Lo sering jatuh, muntah, sakit kepala, dan lupa.. Lo pelupa.. Terus lo mau bilang apa lagi, Alea? Aku nggak apa-apa, gitu? Bego!" Vina semakin jengkel menyikapi sikapku yang keras kepala. Ia nenyeretku keluar dari kamar hingga membuatku berjalan terseok-seok. Sepertinya dia sudah jengkel.

Setelah kita sudah berada didepan rumah, ia langsung memaksaku untuk masuk kedalam mobil.

"Vin—"

"Diem." Oke, aku diam.

Hanya membutuhkan waktu 20 menit. Akhirnya kita sudah sampai didepan gedung rumah sakit.

Vina terus menggandeng tanganku menelusuri setiap koridor rumah sakit sampai kita sudah masuk kedalam ruangan serba putih ia masih tetap menggandengku. Ia hanya melepaskan gandenganku saat dokter menyarankan aku harus menjalani scan pada otakku.

Aku menunggu dokter mengucapkan ucapan terkutuk yang tidak pernah ingin ke dengar. Dokter memberikan kertas diagnosa padaku dan aku menerimanya.

Air mataku menetes, sialan. Aku ingin mengumpat. Mengapa secepat ini?

"Penyakitmu sudah memasuki tahap kedua.. Dimana pada tahap ini, kanker otak itu akan semakin membuatmu menderita, Alea.. Kamu akan merasakan sakit kepala sepanjang hari, mual dan muntah, dan kejang-kejang.. Pasti kamu sudah melalui itu semua.." Ucapan itu bagaikan petir bagiku. Mengapa sulit sekali melenyapkan penyakit sialan ini? Mengapa?

"Kamu membutuhkan orang yang bisa merawatmu, menjagamu, dan membantumu setiap hari.. Kamu butuh seseorang yang bisa membuat hari-harimu bahagia dan melupakan rasa sakit yang  selalu menimpamu bertubi-tubi." Lagi- lagi rasanya hatiku seperti sedang tertimbun oleh bebatuan besar.

"Kamu selalu meminum obatnya, kan?" Tidak.. Aku jijik dengan obat itu. Obat besar itu rasanya seperti kopi busuk.

"Iya.." Jelas aku berbohong.

"Bagus.. Habiskan obatnya, Alea.."

"Untuk apa aku meminum obat itu? Jika pada akhirnya aku akan mati juga.. Untuk apa kamu masih bersikap seolah-olah aku akan sembuh, tapi pada kenyataan yang sebenarnya, penyakit ini tidak akan pernah hilang diotakku.. Malah membuatku semakin buruk dan rapuh.." Aku menangis menatap pria berjas putih dihadapanku.

"Kamu akan sembuh."

"Bohong! Jangan pernah membohongiku. Penyakit sialan ini tidak akan pernah bisa disembuhkan. Aku tau!" Pekikku tajam kemudian beranjak dari dudukku dan keluar dari ruangan terkutuk itu.

Vina terus memanggil namaku tapi aku mengabaikannya.

Aku langsung masuk kedalam lift untuk menuju ke helipad. Aku butuh udara.

Setibanya di helipad. Àku langsung menangis sejadi-jadinya. Memaki penyakit ini, memaki diriku sendiri, mengapa harus aku?

"Ngapain nangis?" Aku kaget kemudian menoleh kearah samping menatap pria yang tengah duduk diatas kursi sambil menyesap kopi hitamnya.

"Putus cinta?" Tanyanya lagi.

Aku langsung memutar tubuhku. Aku pikir dihelipad tidak akan ada orang. Tapi apa yang aku pikirkan salah..

"Nggak perlu ditangisin, putus cinta ya cari cinta yang baru aja.. Simple kan?" Aku langsung menoleh menatapnya dengan tatapam tajam.

"Nggak usah ikut campur."

Ia tertawa hambar, seakan ia sedang mengejekku karena menangis. Ia beranjak dari duduknya dan berjalan menghampiriku, merangkul bahuku layaknya seorang sahabat lama.

"Lo boleh nangis. Lo boleh ngapain aja.. Tapi lo nggak boleh jatuh terlalu dalam.. Berusahalah jadi cewek yang kuat dan hebat. Jangan lemah kayak gini." Hatiku tertohok. Aku mencerna setiap ucapnya dalam diam. Aku memang putus cinta, tapi tidak hanya itu juga. Aku putus asa. Aku tidak bisa menerima kenyataan sepahit ini.

"Apa hidup sekejam ini?" Tanyaku tanpa menatapnya sama sekali. Air mataku masih mengalir membasahi pipiku ketika mengingat perlakuan yang dilakukan Lando padaku.

"Terkadang iya.. Hidup terlalu kejam. Tapi, lo harus percaya kalau hidup itu butuh usaha yang keras agar lo bahagia." Balasnya cepat.

Aku mengangguk mengerti.

"Semuanya sangat pahit.."

Iya semakin mempererat pelukannya. "Ya, semuanya sangat pahit.. Tapi, jika seorang Alea sedih seperti ini tidak lucu.. Bukannya lo dulu orang yang ceria.. Kenapa sekarang jadi begini?" Aku mengerutkan dahiku sambil menoleh menatapku. Darimana dia tahu namaku?

"Aku Rendy, sahabat lo waktu kita masih SMP.. Lupa?" Tanyanya.

Aku diam menatapnya dan mencoba mengingat-ingat. Memaksa otakku untuk semakin bekerja keras. Dan ah, ya aku ingat.. Dia Rendy.

"Astaga.. Aku–– Ah, Rendy.." Aku langsung memeluknya erat. Sangat erat, aku merindukan pria ini. Pria menyebalkan ini.

Ia tertawa kemudian melepaskan pelukanku. "Rasaku masih sama, Al.. Nggak akan pernah berubah.. Gue nggak akan pernah biarin lo sedih kayak gini.. Gue pengen liat lo senyum.. Kalau Lando nggak bisa bahagiain lo.. Gue siap gantiin posisi dia dan bahagiain lo selamanya.."

Aku diam menatapnya. Benarkah? Aku menggigit bibir dalamku. Ia masih mencintaiku.

"Ren, tapi Lando suamiku."

"Suami macam apa kalau kerjaannya selingkuh sama mantan pacarnya dulu? Apa lo masih mempertahanin dia?"

"Aku cinta sama Lando."

"Tapi, Lando nggak cinta sama lo.. Gue yang cinta sama lo." Aku langsung mendongak menatapnya.

Ucapannya masih sama. Ia memang membenci Lando sejak dulu dan ia mencintaiku juga sejak dulu..

_________________

TBC

Happy reading.

Maaf telat..

Minal aidzin wal faidzin dulu..

Mohon maaaf lahir & batin.

❤❤

Still HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang