Chapter 12

6.5K 343 18
                                    

Alea.

Hidupnya oyak-ayik, semangatnya untuk melakoni sebuah sekenario kehidupan sudah lenyap begitu saja. Ia terlihat seperti mayat hidup. Tidak ada gambaran pada dirinya. Semuanya kosong.

Ia menolakku, ketika aku ingin menenangkannya. Seolah ia sudah menganggap bahwa diriku adalah manusia paling jahat dimatanya.

"Al, dengerin aku. Aku Lando, aku disini." Aku terus mengulang ucapanku.

"Jangan sentuh aku!" Ia berteriak kemudian menampik tanganku yang hendak memegang bahunya. Ia menangis, lalu menenggelamkan kepalanya diantara dua lutut yang sejajar. Dia hancur.

Beberapa menit setelah aku terdiam, tubuh Alea langsung roboh. Dengan cepat aku langsung menangkapnya. Wajahnya pucat dan kacau. Lalu aku menggendongnya dan membaringkan tubuhnya diatas kasur. Ia semakin kurus, itulah yang aku rasakan.

Matanya terpejam dan air matanya membekas dibawah matanya dan pipinya. Bagaimana ini bisa terjadi padanya?

Dialah wanita yang dulunya aku sayangi, kini malah dia yang sekarang aku benci. Bahkan kata itu terbalik pada takdir ini. Rasa benciku padanya seketika lenyap kala melihatnya yang seperti ini, sedangkan Alea... Dia membenciku.

Apakah ini hukuman untukku? Karena, aku sudah berani mengacuhkan wanita rapuh seperti Alea.

Aku memandanginya, terus memandangi wajahnya yang pucat pasi. Tak ada ekspresi disana.

"Lando." Aku langsung mengusap wajahku dengan kasar ketika suara yang entah mengapa sangat membuatku malas.

Aku beranjak dari dudukku, lalu meninggalkan Alea dan keluar dari kamarnya.

Bisa ku lihat sosok wanita yang tengah berdiri membelakangiku diruang tamu dengan balutan dress berwarna biru tua ketat, sedang menunggu kehadiranku disana.

"Ada apa?" Tanyaku padanya dan sedetik itu pula, ia membalikkan badannya lalu mengerutkan dahinya ketika aku sedang menutup pintu kamar Alea.

"Kamu ngapain di kamarnya Alea?" Tanya Karin.

"Dia sakit."

Karin memutar bola matanya malas, lalu berjalan menghampiriku, "Terus kamu peduli sama dia?" Tanya Karin lagi. Hari ini aku benar-benar sedang tidak bersemangat untuk meladeni Karin. Entah kenapa rasanya aku ingin sekali menghindarinya.

"Karin, lebih baik kamu pulang sekarang."

Raut wajah Karin langsung berubah kala aku memintanya untuk pulang. Tatapan tidak suka tercetak jelas dari wajahnya, "Lando, kamu kenapa sih?"

Aku menggelengkan kepalaku sambil menatapnya dalam-dalam seolah memberikannya sebuah isyarat bahwa aku sedang tidak ingin diganggu.

"Lando!" Ia berdecak marah.

"Rin, lo bisa pulang." Aku berucap dingin dan bergegas untuk berjalan masuk ke kamar Alea lagi.

"Oh jadi ini, gara-gara cewek tolol itu kamu ngusir aku? Iya? Kamu berubah." Tanyanya sinis.

"Rin, gue lagi nggak mau diganggu. Lo pergi aja dari sini." Kataku malas, lalu menutup pintu kamar Alea kembali.

"Gue bakal bikin lo nyesel balik sama Alea lagi!" Teriak Karin diluar sana. Masa bodoh mengenai itu.

Pikiranku terus berkecamuk mengenai Alea, hatiku benar-benar miris kala melihat Alea yang seperti ini. Rasanya aku benar-benar tidak menepati janjiku untuk membahagiakannya, melindunginya, dan menyayanginya.

Alea membuka matanya dengan perlahan, lalu tatapannya beralih kearahku. Menatapku cukup lama, "Kamu ngapain disini?" Tanyanya datar. Tidak ada ekspresi yang menunjukkan sebuah guratan kebahagiaan saat aku berada disampingnya. Padahal inilah yang dulu ia inginkan.

"Jagain kamu." Jawabku cepat.

"Kamu nggak perlu jagain aku... Aku bukan anak kecil lagi." Katanya dengam nada dingin lalu mengubah posisinya menjadi duduk.

Aku mengambilkannya segelas air putih lalu menyodorkannya padanya. Namun, ia mengacuhkanku dan lebih memilih mengambil segelas susu lalu menegaknya hingga tadas.

Aku kecewa.

Dia berubah dengan cepat.

Dia bukanlah Alea yang ku kenal.

"Jangan deket aku lagi..." Ucapnya tanpa menatapku sama sekali. Tatapannya terus terfokus kearah depan.

"Kenapa? Aku suamimu." Tanyaku.

"Kamu nggak pantes disini dan yang harus kamu tahu bahwa kamu bukanlah suamiku dan itulah yang setidaknya sudah kamu ucapkan dibeberapa hari yang lalu." Katanya tanpa menunjukkan ekspresi apapun. Ia seperti sebuah patung yang bisa berbicara.

"Al, aku tarik semua ucapan itu. Aku mau disini. Jagain kamu.." Ia diam lalu memejamkan matanya dan menoleh kearahku kemudian membuka matanya.

"Kenapa? Karena kamu sudah tau tentang penyakitku?" Tanyanya sinis.

"Enggak, bukan masalah itu. Aku sadar bahwa selama ini aku salah. Harusnya yang selama ini aku jaga itu kamu, yang selama ini aku sayangi itu kamu, bukan Karin."

Alea tertawa pelan kemudian mengalihkan pandangannya kedepan lagi.

"Tapi sayangnya semua itu sudah terlambat. Aku nggak butuh apa-apamu lagi." Katanya sinis lalu turun dari atas ranjang.

"Al, kamu mau kemana?" Tanyaku tapi ia masih tetap diam tak menggubrisku. Ia keluar dari kamar dan menutup pintunya kembali.

Aku langsung beranjak dari dudukku lalu keluar dari kamar Alea. Bisa ku dengar suara pintu utama yang di gebrak dengan cukup keras. Alea keluar dari rumah! Itulah yang bisa ku rasakan.

Aku berlarian untuk keluar dari rumah. Setelah keluar dari gerbang aku menatap kearah kanan dan kiri. Dia hilang. Tidak ada jejaknya.

Aku mengumpat kesal kemudian berjalan masuk kembali untuk mengambil kunci mobilku.

Pagi ini suasana kota di Jakarta cukup ramai. Tidak memungkinkan jika Alea berlarian meninggalkan rumah mengingat perkataan dokter Lave tadi pagi.

________________

________________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Still HereTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang