BAB 1: Kejadian di Benakku (1)

427 74 42
                                    

Aku berjalan menyusuri Nixon Avenue. Di kiri, pohon-pohon pinus botak tanpa daun berdiri menjulang. Salju tertumpuk menggunung di pinggir jalan, tampak baru disekop oleh pemilik rumah terdekat demi membuka jalan.

Rumah-rumah gaya Amerika berbaris di kanan. Cahaya kuning memancar dari dalam rumah melalui jendela-jendela lebar di sisi pintu sedangkan asap mencuat dari lubang perapian. Rumah-rumah itu seolah tengah memelototiku dan berceloteh satu sama lain, "Apa yang dilakukan gadis itu di pinggir jalan di tengah musim dingin seperti ini? Dia pasti sudah gila." sementara yang lainnya mungkin menyahut, "Iya, dia tidak tahu saja betapa hangatnya duduk di dekat perapian di dalam sini. Huh, anak yang malang."

Nixon Avenue tampak sepi sekali malam ini, rasanya aku bahkan bisa mendengar suara api membakar kayu di perapian rumah, atau suara iklan McDonald's dari televisi rumah terdekat. Sejujurnya aku tak ingat alasan aku ada di luar rumah di tengah malam musim dingin seperti ini tanpa memakai baju hangat satu pun, tapi, yah di sinilah aku: berjalan di pinggir jalan seorang diri sambil terus-terusan menggosokkan kedua tangan demi menghangatkan badan.

Dingin menusuk kulit di bawah kakiku. Saking dinginnya, tak sadar kalau aku tengah melangkah tanpa alas kaki sama sekali; tak bisa merasakan telapak kakiku lagi. Angin dingin bertiup, mengelus kulit dan menyibak rambut cokelatku. Rahangku bergetar saking dinginnya. Setiap embusan napasku berasap. Beberapa meter lagi aku akan sampai di rumah. Tak sabar rasnaya ingin meminum cokelat panas dan menghangatkan diri di depan perapian.

Sepasang cahaya kekuningan mendekat: sebuah mobil sedan berwarna hitam. Dari jendela sedan yang terbuka, ada siluet seorang pria paruh baya yang tengah menyetir mobil sambil berbicara dengan seseorang di ujung telepon. Sepuntung rokok di tangan kirinya. Asapnya memenuhi seluruh mobil lalu menyeruak keluar.

Entah sejak kapan, tahu-tahu ada seorang wanita muda—yang kutebak masih berusia kurang dari tiga puluh tahun—tengah berjalan mengikutiku di pinggir jalan. Dia punya tubuh jenjang yang familier, juga kemeja flanel merah dan celana jin hitam yang khas. Rambutnya bondol, tapi poninya sedikit kepanjangan beberapa senti hingga menutupi pandangannya. Dia membuatku merinding sedikit karena senyumnya, bukan senyum ramah yang menyambut, tapi lebih ke senyum mengerikan orang yang siap membunuh.

Tangannya membuat gestur mengangkat. Muncul cahaya lembayung redup dari telapak tangannya. Bersamaan dengan cahaya itu, sulur bunga morning glory mencuat dari tanah dan memecah aspal. Entah bagaimana ketika dia mengepalkan tangan kanannya, sebagian sulur menahan roda mobil sedan. Pria di dalam mobil terus menginjak gas hingga suara decit gesekan ban mobil dan aspal dingin terdengar. Sebagian sulur bergerak masuk dan melilit leher pria di dalam mobil.

Benakku terdorong untuk membantu walau adegannya tampak tak masuk akal, tapi tubuhku entah bagaimana terpaku di tempatku berada. Wanita itu mengencangkan kepalan tangannya sedangkan tubuh pria di dalam mobil semakin bergetar. Tak lama, darah menetes dari tangan wanita itu.

Dia tersenyum puas. Tangannya membuat gerakan seperti menabur garam. Sulur morning glory masuk kembali ke tanah. Aspal yang sebelumnya sempat pecah seketika langsung memperbaiki dirinya sendiri seolah tak terjadi apa pun. Tubuhnya berdenyar dalam cahaya lembayung dan muncul kembali tepat di depanku. Angin meniup rambutnya dan tampak matanya yang hitam keseluruhan. Wajahnya punya banyak retakan seperti tanah yang kekeringan. Beberapa butir bagian kulitnya meluruh dan terbawa oleh angin musim dingin. Di pusat dahinya, di antara kedua alis burung camarnya ada kristal tetragonal kecil berwarna lembayung. Aku terkesiap dan membeku saat itu juga.

Dia menaruh telunjuknya di bibir. Tersenyum, dia berkata, "Lebih baik tak kau beritahu siapapun tentang ini." Dia mengedipkan matanya sebelah dan tubuhnya meledak menjadi serbuk lembayung.

***

Mataku mendelik terbuka. Aku bisa mendengar denyut jantungku dan aliran darah mengaliri setiap bagian tubuh. Denyutnya terasa hingga ke pelipis sementara keringat membanjiri tubuhku—rasanya lengket sekali padahal aku tidur di depan pendingin mobil, secara harafiah.

Falsus' DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang