Dixon menggeram. Pandangannya tertuju lurus ke arah jendela. Di sana hanya ada seekor burung merpati putih yang tengah memandangi kamarku dari luar jendela. Bulunya yang berwarna putih tampak kotor dan ditempeli noda lumpur. Burung merpati itu mematukkan paruhnya di kaca jendela. Aku tak tahu apa yang membuat Dixon sebegitu galaknya pada merpati itu, tapi yang kutahu pasti adalah merpati itu tampaknya sedang tak oke, kurasa dia lagi meminta sesuatu padaku.
Kubuka jendela persegi panjang besar di depanku. Merpati itu kini terbang masuk dan bertengger di tanganku. Kepalanya bergerak-gerak meneliti, dan saat itu juga aku langsung sadar kalau di dekat sayapnya ada luka bekas gigitan yang masih berdarah. Aku jadi merasa tak tega pada merpati ini. Entah kenapa gonggongan Dixon kini semakin mengeras untuk alasan yang tak kuketahui—kurasa Dixon hanya ingin memproteksi wilayah teritorinya (?)
"Jangan gonggong dia terus, Dixon. Merpati ini nggak berbahaya kok," kataku.
Dixon tiba-tiba saja langsung berhenti menggonggong, kini dia memang ekspresi wajah takut. Apa aku menakutinya? Aku tak yakin, tapi dia langsung masuk ke bawah selimut di kasurku.
Aku tak tahu bagaimana caranya memberikan pertolongan pertama pada luka di tubuh merpati. Apa dia boleh diberikan obat merah? Aku tak tahu tapi kubawa dia ke kamar mandi kubersihkan lukanya dari lumpur. Merpati ini tampak sangat tenang, dia tak melakukan perlawanan apa pun bahkan saat aku menyentuh lukanya dengan kapas basah. Mungkin sedikit obat merah dan perban tak akan jadi masalah?
"Kau lapar?" Dia hanya menatapku—yang kuanggap berarti, "Ya, aku lapar sekali."
Aku ingat masih mempunyai makanan burung di kabinet dapur yang biasa kugunakan untuk mengisi rumah burung di belakang rumah agar bisa mendengar kicauan burung di pagi hari. Kuambil sesendok dan kubawa ke halaman belakang. Ada beberapa pohon pinus yang cukup tinggi tumbuh di halaman belakang rumahku. Akar-akar pohon pinus itu menyembul keluar dari tanah dan diselimuti lumut pendek. Rerumputan di dekat pohon itu lumayan tinggi, hingga setinggi mata kaki. Di salah satu dahan pinus ada satu rumah burung kecil yang sudah jarang kuisi. Aku melangkah keluar rumah, sambil berusaha menjaga agar biji-bijian itu tidak terjatuh. Kuletakkan makanannya ke sana. Bangunan berbentuk kubus kuning dengan atap prisma segitiga berwarna cokelat itu bergoyang-goyang sejenak setelah aku memasukkan makanan burung.
Merpati itu menatapku dengan bingung, kemudian langsung terbang begitu saja ke arah rumah pohon. Burung merpati itu menjatuhkan gelang kaki kertasnya yang berwarna putih. Baru kusadari di balik gelang itu ada tulisan dengan tinta hitam yang sudah luntur. On fest? Apa maksudnya itu? Tunggu, bukan. Tulisannya bukannya on fest, tapi Feston. Gawat, beberapa hari lalu aku sempat mendengar tetangga kesayanganku, Mrs. Frost datang ke rumah dan menanyakan apakah Feston ada di rumahku. Ibu bilang tak ada hewan apa pun yang datang ke rumah kami. Saat itu aku tak tahu kalau Feston itu adalah nama burung merpatinya.
Aku melirik ke kiri hati-hati. Rumah Mrs. Frost tampaknya sepi, mungkin dia masih berjalan-jalan sebentar dengan anjingnya atau ke mana. Tapi aku masih tak yakin kalau Mrs. Frost tidak ada di rumahnya. Dia seringkali datang tiba-tiba seperti saat terakhir kali dia memarahiku gara-gara aku membentak William karena dia tidak mau berhenti menggonggong. Dia 'kan tak pernah suka kalau ada yang berinteraksi sama peliharaannya. Feston makan dengan sangat lambat, aku jadi geram padanya. Kalau Mrs. Frost sampai datang ke halaman belakang ....
Duk!
Sesuatu mendarat di dekatku: buah persik busuk. Aku tahu apa yang akan terjadi setelahnya.
"Danielle Lancaster." Suara serak nan berat yang kukenal berkata. Aku tahu itu pasti dia. Begitu aku menoleh, diriku langsung terkejut dengan wajah Mrs. Frost yang memerah sejauh sepuluh meter dari tempatku, berdiri di halaman belakang rumahnya—yang sebenarnya tersambung secara langsung dengan halaman belakang rumahku sih. Wanita empat puluh tahunan itu memakai tunik warna pink dan riasan wajah super tebal yang saking tebal riasannya kurasa Claire bisa memakai riasan itu dua kali. Dia memegang setengah lusin buah persik busuk di tangan kanannya—yang kurasa tak habis dimakannya sendirian—dan tongkat bantu berjalan di tangan kirinya. Dia melontarkan tatapan yang garang sekali padaku seolah berani memakanku. Bibirnya yang keriput bergetar beriringan dengan tahi lalat di atasnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/107867065-288-k615929.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Falsus' Dimension
FantasyAku terjebak dalam jalinan mimpi aneh yang seakan menari di tepian kesadaranku, mengganggu psikisku dengan halusinasi dan delusi yang datang bak badai di tengah laut. Satu-satunya orang yang kupercaya adalah Ibuku, hingga satu waktu dia mengira putr...