BAB 4: Memori Melankolis (1)

75 17 36
                                    

Aku terbangun di sofa ruang tengah dalam keadaan bingung, Televisi di depanku sudah berganti menjadi serial kartun yang lain. Kulirik jam dinding. Ini baru pukul sembilan. Aku pasti sempat tertidur sebentar tadi. Aku yakin yang tadi itu cuma mimpi aneh seperti biasanya. Obat yang diberikan Mrs. Mallory ada di nakas sebelah kasurku, sudah kuminum setelah sarapan tadi, tapi pasti efeknya belum bekerja.

Dixon ada di dekatku. Dia menggonggongku, berusaha membangunkanku. Dia bergerak bolak balik dari sofa ke pintu depan. Ada orang di depan pintu. Suara bel pintu depan yang berbunyi semakin cepat seakan sudah ada di sana sejak lama. Suara bel itu jadi mengingatkanku dengan mimpi tadi. Dixon kelihatan sudah kehilanagn kesabaran dan dia berusaha membuka pintu dengan cakarnya.

Kulihat dari jendela ada seorang wanita berdiri di sana sambil terus menerus menekan bel. Dia punya wajah Asia Selatan yang kental. Matanya hitam berbinar dan rambut panjang lurusnya diikat ekor kuda ke belakang. Dia punya tubuh yang mungil, tingginya mungkin sekitar telingaku. Di wajahnya tampak ada raut gelisah dan sedih. Kubuka pintu masuk.

"Oh, syukurlah. Kukira di rumah ini tak ada orang sama sekali," katanya.

Aku membalas, "Oh, maaf, Tante Radha. Aku tadi enggak sengaja ketiduran. Ayo masuk dulu, Tante."

Dia adalah sahabat ibuku, yang biasa diajak menelepon oleh Ibu. Dia tinggal di sisi lain Staten Island dan sering berkunjung dan membawakan banyak sekali kue-kue kering dan permen yang dia masak sendiri untuk kami. Aku, Ibu, dan Claire dulu sering berlibur bersamanya dan dia juga sering membawakanku hadiah natal atau banyak permen saat Halloween. Dia juga sering membantu saat kami kesusahan misalkan saat Ayah pergi.

Tante Radha membalas sambil tersenyum getir. "Ah, kali ini sepertinya tak perlu, Dany. Aku cuma mampi sebentar." Dia memberikan sebuah tas-kertas kecil. "Di dalamnya ada vas bunga dan ada surat juga buat ibumu. Tolong kau kasih ke dia begitu dia pulang dari kerja ya? Bilang padanya, ada hadiah dari Tante Radha."

Aku menerima tas yang diberikannya. "Oh, baiklah kalau begitu. Itu saja?"

"Tolong kau sampaikan juga ke dia maafku karena tidak bisa memberikannya secara langsung. Oh ya, dan aku mungkin akan sangat jarang datang ke sini karena sesuatu." Dia memalingkan wajahnya, tapi sempat kulihat matanya berkaca-kaca untuk alasan yang tak kuketahui.

Aku mencoba tersenyum lebih ramah, "Akan kusampaikan ke Ibu nanti."

Tante Radha mengangkat wajahnya kembali setelah mengusap matanya yang berkaca-kaca. Masih dengan tawa getirnya, dia berkata, "Ya sudah, itu saja. Aku pulang dulu. Jaga dirimu, Dany. Juga Ibumu dan Claire."

Sebelum aku sempat membalas perkataannya, dia sudah berlari menuruni tangga batu di depan rumahku dan masuk ke dalam mobilnya. Aku mencoba melambaikan tangan padanya sebagai ucapan selamat tinggal, tapi kurasa dia tak melihatku karena mobilnya melesat cepat sekali dan segera menghilang di belokan Nixon Avenue.

***

Aku menghabiskan hari ini hanya dengan menonton serial komedi dan kartun di TV sambil makan biskuit di ruang tamu bersama Dixon. Aku sudah sekitar dua minggu tidak menggunakan ponsel. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul enam sore. Claire seharusnya sudah pulang dari tadi. Apalagi pemotretannya cuma ada satu sesi saja, jadi cuma sebentar. Kuyakin dia sekarang lagi nongkrong sama teman-temannya. Ibu mungkin akan pulang agak terlambat karena katanya ini hari yang sibuk. Tapi kurasa beberapa menit lagi.

Dan benar saja! Bunyi derungan mobil sedan terdengar sedang memasuki garasi, dilanjutkan dengan bunyi langkah kaki menaiki tangga batu. Seseorang menekan bel depan untuk memintaku membukakan pintu yang terkunci. Aku melangkah ke arah pintu depan dan membukakan pintu.

Falsus' DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang