BAB 18: Di Balik Pilar Gading Kolosal (1)

10 0 0
                                    

Kami mengendarai mobil hingga sampai ke borough Manhattan melalui Brooklyn. Gedung-gedung pencakar langit berdiri kokoh di kejauhan pusat Manhattan. Di sepanjang jalan, pejalan kaki sibuk beraktivitas di trotoar, sementara mobil-mobil dan taksi kuning lalu lalang di jalanan aspal hitam. Beberapa orang menatap kagum pada pria yang terbang mengendarai burung raksasa, sedangkan yang lainnya terlalu sibuk dengan pekerjaan mereka hingga tak sempat menoleh.

Pria yang mengendarai burung di depan kami berbelok ke sisi barat Manhattan. Penampakan sungai East muncul tak lama, namun aroma tak sedapnya tercium lebih dulu. Ada sebuah pulau di salah satu sisi sungai East, cukup besar, dengan hamparan rumput hijau, semak-semak, dan pohon-pohon yang tertata rapi. Puncak gerbangnya bertuliskan 'KEDIAMAN KELUARGA EATON'. Sebuah jembatan beton megah dengan tiang-tiang lampu jalan tinggi menghubungkan pulau itu dengan jalan di sisi barat Manhattan. Di pusat pulau itu berdiri sebuah mansion megah berwarna putih tulang dengan arsitektur neoklasik.

Ayah memberikan penjelasan singkat pada aku dan Claire sambil fokus mengikuti pria di depan. "Kita akan bertemu dengan Mr. Eaton. Ingat beberapa hal ini. Satu, bahwa Mr. Eaton adalah orang yang membesarkanku dulu, bersikaplah baik. Jadi kalau ada pertanyaan yang sedikit menyinggung, tolong jangan meledak. Mr. Eaton cukup sensitif secara emosional, jaga perasaannya. Dua, jangan coba berbohong. Mr. Eaton benci kebohongan, dia akan menemukan cara untuk membuktikan apakah aku berbohong atau tidak. Tiga, Mr. Eaton adalah seorang falsus alba, falsus bermata putih, pemegang sihir puncak di dimensi falsus. Dia dikaruniai kemampuan melihat kembali ke masa lalu atau ke masa depan, prasyaratnya adalah sentuhan. Kita tak pernah apa yang bisa mengganggu kedermawanannya, jadi usahakan untuk bersentuhan sesedikit mungkin dengan Mr. Eaton. Paham?"

Aku dan Claire saling bertatapan, tapi lalu sepakat mengangguk.

Mobil kami melintasi jembatan beton itu mengikuti pria dengan burung raksasa di depan kami yang sudah terbang lebih dulu. Dia terbang melesat melintasi daerah taman depan yang tersusun atas jalan setapak panjang, pohon-pohon yang dibentuk kolumnar, dan semak-semak rendah yang dipotong rapi berbentuk bulat. Pria itu mendarat tak jauh dari kanopi pintu masuk, meninggalkan kami yang harus mengikuti jalanan beton berkelok. Kami memarkirkan mobil sembarangan di lahan kosong di sebelah pintu masuk mansion. Pria bertunik putih—yang tadi mengendarai burung raksasa itu—menghampiri kami. Dia memperkenalkan diri sebagai Sherman Gerner dan mengajak kami segera masuk ke mansion bersama dengan dirinya.

Mansion megah bergaya neoklasik itu yang tampak seperti bangunan dari zaman lain. Bangunan ini sangat simetris. Pilar-pilar kolosal dengan ukiran Doric rumit di bagian atasnya, memberikan kesan monumental begitu aku melangkahkan kaki ke bangunan ini. Pintu utama besar yang terbuat dari kayu mahoni berada tepat di tengah, dikelilingi oleh jendela-jendela tinggi yang teratur di kedua sisinya. Atapnya berbentuk segitiga dengan tympanum yang dihiasi ukiran relief dewa-dewi Yunani. Eksterior mansion menggunakan material marmer putih yang mengilap, menciptakan pemandangan yang begitu bersih dan anggun di bawah sinar matahari.

Kami berjalan mendekati pintu utama, sebuah pintu besar dan kokoh yang dihiasi dengan ukiran detail flora. Di atas pintu, terdapat ornamen cornice dan dentil molding. Beberapa meter dari pintu, ada seorang pria yang sudah berdiri menyambut kami. Dia punya wajah ramah yang punya banyak keriput jelas, bersesuaian dengan rambut hitam rapinya yang sudah banyak beruban. Usianya mungkin sudah berada di penghujung tujuh puluhannya, tapi dia punya badan yang kekar dan tegak layaknya seorang abdi negara. Dia memakai setelan jas putih polos dengan dasi kupu-kupu kecil berwarna hitam sebagai aksen di lehernya dan kacamata hitam klasik. Pria itu tampaknya bukan orang sembarangan, karena ada beberapa pin emas yang pundak dan kerah bajunya.

Dia menyapa kami dengan hangat. "Selamat datang di kediamanku, Preston. Lama tak bertemu. Terima kasih sudah menghubungiku dan mempercayaiku untuk membantu. Senang rasanya bertemu kembali denganmu." Pria itu menjabat tangan Ayah lalu memeluknya hangat layaknya seorang ayah yang memeluk putranya.

Falsus' DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang