BAB 11: Ramalan dan Ritual (1)

66 10 6
                                    

Aku terbangun dengan kepala berat dan pandangan yang buram. Udara di sekitarku terasa dingin dan berbau obat, khas rumah sakit yang selalu aku benci. Saat penglihatanku mulai fokus, aku sadar bahwa aku terbaring di sebuah ranjang dengan tangan terikat pada sisi tempat tidur. Selang infus menempel di lengan kiriku, mengalirkan cairan dingin yang menusuk pembuluh darahku. Ruangan itu sunyi, hanya suara mesin-mesin medis yang berdenyut pelan.

Ibu berdiri di sudut ruangan, wajahnya tampak letih dan penuh kecemasan. Di sebelahnya, Mrs. Mallory menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan, campuran antara simpati dan penilaian.

"Apa yang kalian lakukan padaku?" Suaraku serak, penuh kemarahan yang tertahan. Aku mencoba meronta, tapi tali pengikat itu terlalu kuat. "Lepaskan aku! Kalian tidak berhak melakukan ini!"

Ibu melangkah mendekat, air mata mengalir di pipinya. "Dany, tolong tenang. Kami melakukan ini untuk kebaikanmu."

"Kebaikanku?" Aku tertawa sinis, suara tawaku bergema di dinding putih yang dingin. "Kalian pikir mengikatku di tempat ini adalah kebaikan? Kalian tidak tahu apa-apa!"

Mrs. Mallory mencoba menenangkanku dengan suaranya yang lembut. "Dany, kami hanya ingin memastikan kau mendapatkan bantuan yang kamu butuhkan. Ini adalah tempat yang aman. Kami akan berusaha membantumu sebisanya. Biarkan kami membantu ya. Semuanya akan baik-baik saja secepatnya."

Aku menatapnya tajam. "Kalian tidak peduli padaku. Kalian hanya ingin menyingkirkan masalah kalian. Kalian pikir mengurungku di sini akan menyelesaikan segalanya?"

Ibu terisak, suaranya pecah saat ia mencoba berbicara. "Dany, aku harap kau bisa mengerti. Kami hanya ingin kau baik-baik saja. Kami tidak tahu harus bagaimana lagi."

Aku tertawa. "Kalian bodoh. Mengurungku di sini tak ada gunanya." Aku mulai berteriak sambil meronta-ronta berusaha bangkit. "Semakin lama kalian mengurungku, aku akan semakin marah. Akan kubuat kalian semua menyesal. Akan kubuat kalian semua mati! Bajingan!"

Mrs. Mallory menyuntikkan cairan penenang ke dalam infusku. Visiku lalu berdenyar.

***

Aku mendapatkan visi dari kembaranku di tengah hari, tepat saat aku tengah fokus membantu Darcy merangkai bunga untuk dekorasi kamar. Kurasakan keringat melapisi seluruh wajah dan tengkukku.

Darcy menanyakan, "Ada apa? Kakak kelihatan pucat."

"Aku melihat diriku di rumah sakit jiwa. Tolong bilang apakah aku memang masih di rumah sakit jiwa dan ini halusinasiku."

Darcy menggeleng. "Itu pasti kembaran kakak yang mengirimkan visi. Aku selalu mendapatkannya. Kakak tidak sedang halusinasi kok."

Aku bingung. Keduanya terasa nyata, visi yang dikirimkan kembaranku ataupun Darcy di depanku. Visi itu sedikit memberikanku ketenangan. Aku di rumah mungkin sedikit berbahaya bagi Ibu dan Claire: aku bisa saja melukai mereka kapanpun. Jika aku di rumah sakit jiwa, aku rasa Mrs. Mallory dan rumah sakit pasti sangat kompeten untuk menangani dan halusinasiku.

Aku berusaha mengalihkan perbincanganku dengan Darcy. Aku mencoba memuji karangan bunga yang sedang dibuat Darcy. Darcy senyum-senyum sambil bilang terima kasih. Dia bilang dulu dia dan ibunya sering sekali merangkai bunga bersama, terutama untuk usaha toko bunga keluarganya. Dia lalu melanjutkan bercerita kalau dia punya silsilah keluarga yang rumit, terutamanya ketika ayahnya menikah lebih dari sekali, begitu juga kakeknya. Katanya keluarganya tersebar di berbagai penjuru Inggris Raya.

Kelas metafisika berlangsung tak lama setelahnya. Domum tak pernah punya pengingat waktu khusus seperti bel, lonceng, dan sebagainya, jadi kami harus benar-benar ingat waktu. Paling-paling, anak-anak yang mulai rusuh menyuruh cepat-cepat ke kelas. Darcy adalah tipikal anak yang paling heboh karena takut terlambat kelas.

Falsus' DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang