BAB 12: Ramalan dan Ritual (2)

61 8 0
                                    

Waktu makan siang tiba, aku dan Darcy entah bagaimana kedapatan duduk di kursi yang sama dengan tadi pagi. Si kembar Ainsley dan Alice bergabung, lalu ada cowok berkacamata dengan kulit kecokelatan cantik yang namanya Rolfe, dan teman sesama dari Londonnya yang pendiam, Theo, si cowok di area latihan fisik yang tadi pagi kulihat.

Miss Wagner menyiapkan makan siang yang seragam kali ini: makanan khas Jerman yang aku tak bisa ingat namanya apa, tapi bentuknya mirip dengan bistik pada umumnya. Bahan utamanya tampaknya daging cincang dan telur yang sudah dipanggang, lalu diiris tipis dan disajikan berbarengan dengan kentang goreng dan saus khusus yang lumayan cocok di lidahku.

Makan siangku sebenarnya baik-baik saja, tapi sepertinya kami sedang tidak beruntung jadi secara tidak sengaja duduk bersebelahan dengan anak-anak yang sangat berisik tadi pagi, Bryce dan dua temannya yang tak bisa kuingat namanya. Yang paling tidak buruk adalah mereka suka sekali membicarakan hal yang tidak senonoh di meja makan. Tapi yang lebih buruk adalah mereka terus saja mengganggu Theo dan mengejeknya dengan bilang culun, lalu melemparinya dengan kentang goreng. Theo, tentunya karena dia sangat pendiam untuk alasan yang aku tak ketahui, hanya diam dan bersikap seolah tak ada Bryce dan kawan-kawannya sedangkan beberapa kentang goreng mendarat di rambut hitam bergelombang Theo dan tersangkut di sana. Padahal kuyakin dengan kemampuannya, Theo bisa saja menghajarnya hingga lebam saat itu juga.

Walaupun aku tak terlalu suka mencari masalah, tapi tentunya aku tak bisa setenang dan sesabar Theo menghadapi orang-orang yang tingkahnya menyebalkan begitu. Mereka melempar kentang goreng yang juga sebenarnya mengenaiku, tentu karena itu sudah mengenaiku, aku punya hak untuk marah. Aku mengambil beberapa kentang goreng yang tersangkut di rambut Theo dan kulempar balik pada mereka dengan keras. Katanya, "Jangan ganggu dia. Kalian seperti tiga anak yang tak pernah diajari sopan santun."

Mereka membuat mimik wajah yang mengesalkan. Bryce dengan bibir yang dikerucutkan berkata menirukan ucapannya. "Jangan ganggu dia." Dia melanjutkan dengan nada bicara yang sangat menyindir, "Lihatlah, pacarnya si culun ini sudah marah." Ketiganya tertawa sambil memberikan tos satu sama lain.

Tiga orang ini sangat mengesalkan dan aku sepertinya bisa saja terbawa kesal atau marah jika meladeni mereka terus. Tapi mungkin mereka seperti ini karena tak ada yang pernah memberi pelajaran pada mereka. Aku bangkit dan meraih kerah baju Bryce. Wajahnya tampak kaget dan memerah, tapi dia berusaha menutupinya dengan gurauan. "Whoa! Santai anak baru. Anak baru ini sangat pemarah ya haha, untung pacarnya sabar."

Tanganku sudah siap menonjok wajahnya yang mengesalkan. Untungnya setelahnya Miss Wagner datang sambil menggelengkan kepalanya dan mendecak. "Ck, kalian bertiga ini tak bisa diam satu detik saja ya. Jangan ganggu mereka. Aku tak akan memberikan makan malam kalau kalian masih mengganggu mereka, oke?" Ms. Wagner menoleh ke arahku. "Dany bisa lepaskan tanganmu dulu?"

Aku melepaskan cengkeraman tanganku dari Bryce. Mereka bertiga lalu berjanji ke Miss Wagner tak akan mengganggu Theo, tapi lanjut menggoda Miss Wagner dan menanyakan hal seperti kenapa Miss Wagner belum menikah padahal sudah cukup umur dan sebagainya. Aku kembali duduk di kursiku dan makan dengan tenang. Theo entah bagaimana walau sudah 'dibantu' tetap tidak mengatakan sepatah kata pun.

Kami makan siang dengan tenang setelahnya, sampai ketika aku sadar bahwa ada seseorang yang terus menerus menatapku dengan tatapan yang tak dapat kumengerti, semacam tatapan kombinasi tidak suka, merendahkan, atau tatapan yang menginginkan aku segera pergi dari tempat ini. Orang itu ada di kumpulan orang dewasa dan duduk di sebelah Ms. Lawrence. Wanita itu memiliki mata kelabu yang terasa mengganjal, memberikan kesan dingin dan tajam. Rambut peraknya lurus dan diikat satu, senada dengan pakaiannya entah kenapa berwarna putih-perak di tengah musim panas seperti ini. Kulitnya pucat seperti jarang terkena sinar matahari, menampilkan kontras yang mencolok dengan lipstik merah gelap yang menghiasi bibirnya. Alisnya tipis dan melengkung sempurna dengan tulang pipinya tinggi dan tajam, mempertegas garis-garis wajahnya yang tegas. Hidungnya ramping dan lurus, juga jari-jarinya yang panjang dan lentik. Dia memakan makanannya perlahan tapi dengan tetap memperhatikanku dengan tatapan anehnya.

Falsus' DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang