Aku bermimpi lagi malamnya. Kali ini berbeda, bukan mimpi trauma kehilangan Ayah atau mimpi garis pemberi teror itu lagi. Aku menemukan diriku sendiri berdiri di tengah ladang gandum Domum yang gemulai. Cahaya senja memancar di ufuk barat, mewarnai langit dengan warna oranye dan merah. Udara terasa sejuk dan segar, rasanya seperti setiap embusan angin berusaha membuatku lebih tenang dengan mengelus lembut pipiku.
Di ujung ladang, di antara perkebunan apel, seorang pria muncul. Dia memancarkan aura keanggunan yang tak tertandingi. Dia mengenakan jubah merah tebal dengan jahitan emas yang bersinar di bawah cahaya senja. Bulu cerpelai di lehernya menambah kesan kemewahan, seolah dia adalah seorang bangsawan dari zaman dahulu yang terlelap di alam mimpiku.
Langkahku ragu mendekatinya. Citranya tampak lebih jelas dari dekat. Wajahnya dipenuhi dengan kerutan halus yang menceritakan kisah hidup panjang dan penuh perjuangan. Rambut peraknya terurai panjang, menciptakan kontras dengan jubah merah tebal yang dikenakan dengan anggun. Wajahnya tampak sedih kemudian.
Aku berbicara seolah aku memang mengenal pria itu, "Ada apa? Kenapa kau sedih, Pak?"
Pria itu menatapku dengan mata yang dalam. Dia menghembuskan napas berat. "Dany," panggilnya. Suaranya seoleh bergema ke seluruh ladang. "Maaf ini terjadi padamu."
Alisku tertekuk kebingungan.
"Setiap dimensi adalah sebuah realitas unik dengan aturan fisika dan kehidupan yang berbeda. Ada dirimu juga di sini. Kau terhubung dengan versimu sendiri. Sayangnya, kembaranmu menginginkan sesuatu yang berbeda. Dia menjebakmu untuk kekuatan. Setiap orang yang datang ke Domum adalah kesedihanku. Maaf itu terjadi padamu."
Memori tentang kejadian penculikanku terulang kembali. "Bagaimana caraku keluar dari sini?"
Sekali lagi dia mengembuskan napas. "Garis takdirmu telah tertulis dalam garis takdir dimensi ini. Butuh perjuangan yang sangat besar untuk bisa keluar, bahkan aku tak pernah tahu bagaimana ini akan berakhir."
Aku merengut. "Apakah aku bisa selamat?"
"Aku adalah Domum, aku adalah perlindungan bagi siapapun yang membutuhkan. Kupastikan seisi Domum akan melindungi dan mengupayakan keselamatanmu." Ketika ia berbicara, mimpi itu terasa nyata. Setiap kata yang diucapkannya terasa seperti mantra kuno yang menggetarkan hati dan pikiran. Tak lama, citranya berpendar dalam cahaya senja yang hangat.
Aku terbangun tak lama setelahnya. Anehnya, mimpi itu tak memberikan rasa lelah signifikan padaku, aku tetap merasa sudah beristirahat dengan baik. Mungkin juga karena tempat ini punya kasur empuk yang nyaman dan udaranya cocok sekali untuk istirahat. Darcy sudah tampak rapi, sedangkan si kembar Ainsley dan Alice sudah menghilang dari kamar entah dari kapan.
Darcy memakai kaos putih dengan tulisan "SMILE" besar di dadanya, dipadukan dengan rok tartan pendek berwarna kuning-biru. Boneka beruang kesayangannya—kuyakin namanya Coco—ada di pelukannya. Aku tak tahu di mana dia mendapat pakaian baru itu, tapi itu tampak bagus untuknya.
Dia menunjuk ke lemari. "Pakaian hari ini dari Miss Wagner. Sepertinya akan tampak bagus."
Aku mandi secepatnya dan bersiap-siap untuk hari ini. Ms. Lawrence bilang padaku kalau dia ingin bertemu setelah sarapan untuk menjelaskan beberapa hal tentang Domum atau dimensi ini secara umum. Setelahnya, aku akan melihat-lihat tempat ini bersama Darcy.
Aku berpakaian. Baju yang disiapkan Miss Wagner tampak keren: kaos garis vertikal warna kuning-putih dan celana jins pendek warna biru. Dia punya selera baju yang bagus, meski bukan selera bajuku pada umumnya yang lebih suka dengan baju monokromatis.
Di cermin, masih terlihat jelas luka bakar bekas stampel yang dibuat oleh orang-orang yang menculikku kemarin. Lambangnya berbentuk pedang di depan perisai bersayap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Falsus' Dimension
FantasyAku terjebak dalam jalinan mimpi aneh yang seakan menari di tepian kesadaranku, mengganggu psikisku dengan halusinasi dan delusi yang datang bak badai di tengah laut. Satu-satunya orang yang kupercaya adalah Ibuku, hingga satu waktu dia mengira putr...