BAB 2: Kejadian di Benakku (2)

183 51 30
                                    

Aku menatap keluar jendela kamarku di lantai dua. Malam sudah sangat larut, untuk anak berusia tujuh tahun, aku seharusnya sudah tidur. Ibu sudah beberapa kali mengecek masuk ke dalam kamarku, memintaku lekas tidur. "Nanti flu apalagi sedang musim dingin," katanya. Tapi aku kecil tentunya sangat bandel, merengek bilang tidak mau tidur sebelum ayahku pulang. Ini hari ulang tahunku, Ayah pasti pulang larut karena sedang membelikanku hadiah. Aku mau menyambutnya.

Ada mobil sedan hitam bergerak perlahan melintasi Nixon Avenue: mobil Ayah! Semangat menjalar menaiki ubun-ubunku, refleks berlari keluar kamar hingga ke pintu depan. Dari ruang tamu, Ibu melihatku berlari, sadar kalau orang yang ditunggu sudah pulang.

"Pakai baju hangatmu kalau mau keluar rumah!" serunya. Aku kecil tidak mengindahkan kata-kata Ibu, toh aku hanya akan pergi sampai pintu depan, bahkan tak akan menuruni tangga depan. Dari teras, aku melihat mobil Ayah berhenti dengan asap yang membumbung dari dalam, tentunya asap rokoknya. Pikirku, pasti sedang menyiapkan hadiahku.

Sambil melambaikan tangan kegirangan, aku memanggil, "Ayah!" Anehnya, ada seorang wanita di dekat sana yang menoleh. Dia menunjukkan mimik wajah kaget, lalu berlari dan menghilang di tikungan Nixon Avenue. Aku menyadari dia sudah ada di sana sejak lama, bahkan sejak aku mulai menunggu di jendela kamarku. Ayah anehnya tak merespon sama sekali dari dalam mobilnya.

Aku kecil yang tak sabaran langsung berlari menuruni tangga, bahkan tak sempat memakai alas kaki saking bersemangatnya. Asap tipis berembus dari dalam, aroma tembakau tercium samar. Tampak siluet Ayah duduk tak bergerak di kursi pengemudi tapi tak merespon, pura-pura tidur. Aku membuka pintu mobil. Ada cairan kental mengalir dari leher Ayah sampai membasahi bajunya yang berwarna gelap: darah. Ada luka melintang berantakan di lehernya, menampilkan tulang tenggorokannya yang mencuat keluar.

Pria itu menoleh, mulutnya mencipratkan banyak darah. Tangannya berusaha memegang lehernya. Dengan kesusahan, dia mengatakan, "Pu-putriku."

Pikiranku masih belum bisa mencerna apa yang kulihat, tak tahu harus melakukan apa. Mukaku terasa panas, dan air mata jatuh dari pelupuk mata. Aku berteriak, "Ibu!"

Ibu berlari begitu mendengar teriakanku. Wajahnya memucat begitu melihat apa yang terjadi pada Ayah, tapi responnya jauh lebih baik dariku. Dia sigap menggeser tubuh Ayah yang lunglai ke kursi penumpang. Wanita itu mengambil alih kemudi. Dia mengatakan, "Kau tunggu di rumah, Dany." Tapi aku memaksa ikut dan Ibu tak bisa menolak.

Rumah sakit terdekat berjarak kurang dari lima menit. Mobil Ibu melaju melintasi jalanan yang sepi. Benakku dipenuhi berbagai kemungkinan terburuk yang bisa kupikirkan, berbagai macam ketakutan yang bisa kupikirkan. Aku tak punya alasan untuk berpikir yang baik-baik. Begitu sampai di rumah sakit, Ibu masuk dan meminta bantuan darurat menangani Ayah. Dua orang perawat datang membawa brankar dan memindahkan tubuh Ayah.

Baru kusadari pria itu membawa sekotak bingkisan berukuran sedang. Dia menyodorkan itu padaku. Dia berusaha mengatakan sesuatu tapi hanya darah yang keluar dari bibirnya.

***

Aku mimpi itu lagi, sial. Jika mimpi lain seringkali berganti, mimpi itu tak pernah hilang dari benakku. Kejadian yang merenggut nyawa Ayah. Kami tak pernah tahu apa yang sebenarnya terjadi saat itu. Tapi kejadian itu adalah titik balik dari banyak hal di hidupku saat ini. Kejadian itu membuat seisi Nixon Avenue ketakutan untuk beberapa waktu. Banyak penyelidikan dilakukan di sekitar sana, orang-orang mulai memasang alat keamanan tambahan dan tidak berani keluar lebih dari pukul sembilan.

Pemakaman Ayah dilakukan beberapa hari setelahnya. Ibu adalah yang paling terdampak. Dia sering mengurung diri di kamar, menangis. Dia meninggalkan banyak hal: karirnya, anak-anaknya. Aku dan Claire harus belajar mengurus diri kami sendiri. Claire sedih, tapi dia juga marah akan apa yang terjadi, utamanya karena dia satu-satunya yang tak tahu dengan apa yang terjadi. Dia marah karena jadi satu-satunya yang baru diberi tahu saat Ayah sudah tiada. Dia marah karena sikap Ibu berubah hingga beberapa bulan dan tidak merawatnya dengan baik, dia merasa terlantar. Dia yang tertua, dia sudah dua belas tahun saat itu. Dia merasa yang paling layak diberitahu. Karena Ibu sibuk mengurung diri, tugas mengurusiku jadi jatuh ke Claire. Tapi, dia merasa itu tidak adil. Jadi kami memilih mengurus diri masing-masing. Aku mengerti perasaan Claire, juga perasaan Ibu. Tapi aku kecil tak berani mengekspresikan perasaanku sendiri. Maksudku, akulah yang pertama melihat Ayah datang dengan kondisi demikian.

Falsus' DimensionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang