Tidak berhenti sampai disitu saja. Abi benar-benar mendatangi rumahku setiap hari. Untung aku sudah membeli tiket kembali ke Jakarta hari Minggu pagi. Hal yang tidak akan pernah kusesali seumur hidup. Padahal Mama meminta penerbangan pulangku hari Minggu sore atau sekalian hari Senin. Tapi, aku bersikeras menolak.
Aku sudah memesan taksi dari semalam tanpa sepengetahuan Mama. Pak Supri belum kembali dari kampong halamannya. Dipastikan nanti tidak aka nada yang bisa mengantar ke bandara. Papa juga masih sibuk. Sengaja aku melakukan itu untuk mewanti-wanti kalau Mama meminta Abi untuk mengantarku sampai ke bandara.
Koperku sudah kudorong keluar kamar. Mama muncul dari arah dapur. "Nduk, nanti dianter Nak Abi ya? Dia lagi dalam perjalanan kesini."
"Suruh pulang aja, Ma. Gema udah mesen taksi semalem. Nih, barusan ditelpon."
"Lho? Kok gitu?" Suara salam Abi kembali terdengar memenuhi seisi rumah. Kulirik sosoknya yang pagi ini mengenakan celana jins biru dipadukan dengan kemeja putih. Didalamnya terselip kaos yang berwarna senada sebagai dalaman.
"Cancel aja taksinya, Nduk. Ke bandara sama Nak Abi ya?"
Aku menggeleng cepat. Saat itu sebuah taksi datang memenuhi halaman rumahku. Mataku berbinar melihatnya. Secepat kilat aku menarik koperku dan menyodorkan tangan untuk menyalami Mama.
"Udah dateng tu taksinya. Gema pake taksi aja."
"Kalo gitu saya nemenin Gema ke bandara pake taksi juga, Tante." Terlihat wajah Mama yang berseri-seri mendengar kalimat Abi.
"Apaan si. Nggak perlu. Mending lo pulang. Nggak punya kerjaan banget sih tiap hari ke rumah orang."
"Kerjaan gue kan nengokin lo."
Aku mengabaikan kalimat Abi. "Iya, Nak Abi, tolong anterin Gema ya? Maaf lho ngerepotin." Tukas Mama membuat kedua bola mataku berputar sebal.
Aku hanya bisa mendengus kesal. "Gema berangkat dulu, Ma. Mama sama Papa jaga diri. Bilangin Papa jangan kerja terus yang dipikirin. Sering-sering dirumah. Pokoknya jangan sampe sakit. Titip salam buat Eyang juga maaf Cuma bisa sekali ke rumah."
Mama membaals kalimatku dengan kalimat panjang lebar. Aku hanya mendengarkan dengan seksama dan sesekali menghela napas. Udah tau, Ma. Mama selalu nasehatin seputar hal yang sama terus. Bikin aku bosan saja.
"Iya, Ma. Yaudah, berangkat ya."
Melihat gelagatku yang hendak menarik koper. Dengan gerakan cepat Abi lebih dulu menyambarnya.
"Saya juga berangkat, Tante."
"Hati-hati ya, Nak Abi."
Aku menunggu Abi selesai memasukkan koper didalam bagasi dibantu oleh supir taksi. Tidak sampai lama, tubuhnya masuk kedalam mobil dan duduk bersebelahan denganku.
"Jangan jalan dulu, Pak. Saya mau pindah kedepan." Dalam hati menyesal. Kenapa tidak daritadi saja ya aku duduk didepan? Nggak sudi banget harus duduk sebelahan sama si tengik satu ini.
"Jalan aja, Pak. Dia nggak biasa pake seatbelt. Suka sakit pinggang. Denger-denger lagi ada razia. Nanti di tilang lho." Mendengar ada kata razia wajah supir taksi itu sedikit berubah dan mengangguk cepat. Lekas itu ia langsung menjalankan mobilnya.
Aku melenguh dan melirik tajam kearah Abi. Kugeser tempat dudukku hingga mepet sekali dengan pintu. Yang penting nggak deket Abi.
"Caper banget sih lo." Gumamku.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boy Next Window [Completed]
Chick-LitSiapa sih yang nggak pengin cepet lulus kuliah? Semua orang pasti pengin. Termasuk Gema! Tapi, mau gimana lagi? Rasanya susah banget buat ngerjain tugas akhirnya. Untungnya, ada Aksa. Cowok brondong satu ini yang memberikan semangat baru pada Gema...