Betapa senangnya saat akhirnya aku mulai memasuki BAB IV skripsinya. Benar juga kata orang, untuk memulai sesuatu dibutuhkan niat yang kuat untuk menyingkirkan rasa malas. Tapi, kalau sudah memulai, pasti akan ketagihan. Entah kenapa akhir-akhir ini aku giat sekali mengerjakan skripsi. Aku lebih memilih didalam kamar ketimbang nongkrong bersama sahabat-sahabatku.
Apalagi jika Abi mengajak keluar makan atau sekedar nonton di mall. Jelas itu kutolak mentah-mentah. Abi didalam hidupku merupakan urusan ke sekian ratus dalam daftar panjang hal penting yang masuk dalam hidup. Nggak peduli kalau status Abi sekarang adalah pacarku. Pacar pura-pura ini. Itu juga terjadi hanya karena sebuah pernjanjian konyol dan tidak jelas.
"Senyum-senyum aja sendiri terus sampe nanti kesambet jin iprit," kulirik tajam pada Abi yang sedang menyetir. Tiba-tiba saja Abi sudah menjemputku dikampus. Tahu sekali sepertinya kalau aku memang tidak membawa mobil hari ini karena malas.
Aku memang tidak pernah menerima tawarannya untuk dia menjemput. Tapi, untuk kali ini karena Abi sudah terlanjur menunggu diparkiran. Mau tidak mau aku harus menerimanya. Kasian juga dia sudah rela-rela pulang kantor dan ke kampusku yang jaraknya jauh dari kantornya hanya untuk menjemputku.
"Suka-suka gue kek. Nggak bisa banget liat orang seneng ya?"
"Tau deh yang revisiannya dikit," meski sebal tapi kalau mengingat hal itu membuatku kembali senyum-senyum sendiri. "Nah loh, makin lebar tu senyum. Beneran kesambet ya?"
Aku berdecak pelan. Tak menanggapi kalimat Abi. Kuakui, semua ini terjadi karena ada bantuan Abi juga. Kalau dia tidak membantuku untuk mengisi kuesioner, pastinya tidak akan bisa aku sampai di bab ini. Mungkin sekarang aku masih sibuk tidur-tiduran didalam kamar. Mengajak ketiga sahabatku nongkrong karena terlalu gabut. Sekarang justru malah sebaliknya, keadaan benar-benar telah berubah. Semangatku kian terpompa karena tahu, hanya selangkah lagi yang kubutuhkan untuk lulus.
Kutarik napas panjang dan menoleh pada Abi. "Thanks ya, Bi." Ucapku.
"Hah? Kenapa?" Abi yang bingung dengan ucapanku mengernyitkan dahinya. "Thanks buat apaan lagi?"
"Ya, thanks aja pokoknya." Buat semuanya. Ngisiin kuesioner, bantuin buktiin perasaan ke Aksa yang sebenarnya. Meskpin dengan cara paling menyebalkan untuk tahu perasaan Aksa karena harus melibatkan sebuah perjanjian.
"Beneran kesambet nih kayaknya," kudorong pelan bahunya yang tengah memegang stir Ia mengeluh pelan.
"Kalo gue nabrak, jangan salahin gue lo!" Aku hanya tertawa menanggapi.
"Makan dulu ya. Gue laper banget." Abi melipirkan mobilnya pada sebuah restoran yang ia temukan ditengah jalan.
"Terserah." Aku menjawab singkat kemudian mengikuti Abi yang sudah lebih dulu turun dari mobil.
Setelah memilih meja ditemani seorang pelayan. Aku dan Abi mulai memesan makanan. "Lo mau apa?" Tanya Abi.
Aku membolak-balikkan buku menu itu. Kutatap pelayan yang menunggu kami menyebut pesanan.
"Saya mau Caesar salad aja deh, Mbak. Hmm.. Sama lasagna juga. Red velvetnya juga boleh deh. Tapi, nanti dianternya pas selesai makan aja, Mbak. Minumnya air mineral nggak dingin sama jus alpukat aja." Kututup buku menu didepanku.
"Laper apa doyan?" Abi menahan senyumnya.
Aku mencebik. "Berisik. Lo pesen apa?" Abi menyebutkan pesanannya. Setelah mengulang kembali pesanan kami, pelayan tersebut pergi sembari membawa buku menu yang ada ditangan kami.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boy Next Window [Completed]
ChickLitSiapa sih yang nggak pengin cepet lulus kuliah? Semua orang pasti pengin. Termasuk Gema! Tapi, mau gimana lagi? Rasanya susah banget buat ngerjain tugas akhirnya. Untungnya, ada Aksa. Cowok brondong satu ini yang memberikan semangat baru pada Gema...