Penasaran

5K 688 39
                                    


 "Jadi, lo beneran suka sama Aksa?" Abi terus mencecarku dengan pertanyaan.


"Yaudah si. Suka atau nggak bukan urusan lo juga, kan?"

"Urusan gue dong. Kan, gue suka sama lo. Kalo misalnya lo suka Aksa, dia kan keponakan gue. Gue harus tau cewek yang deket sama dia modelnya tu kaya apa."

"Apa sih? Lo Cuma omnya. Bukan bapaknya!"

"Bokapnya Aksa di Surabaya. Karena sekarang gue di Jakarta. Aksa tanggung jawab gue. Gak salah kan gue?"

"Apa kata lo aja deh! Capek gue ngomong sama lo!"

"Masa ngomong sama gue capek sih? Terus kalo nanti lo jadinya nikah sama gue, malem pertama kita gimana?"

"ABI!!!!!"

Abi tertawa-tawa sementara aku hanya bisa mendengus kesal karena semua orang benar-benar memandang kami berdua. Beberapa malah ada yang mengambil ponselnya untuk merekam pembicaraan nggak jelas kami.

Aku menutup pintu mobilku dengan keras saat sampai di parkirn kos. Dari arah belakang, aku juga mendengar pintu mobil tertutup. Sebelum aku masuk, Abi buru-buru menghampiriku. Dia benar-benar mengikuti dari tempat pecel lele. Padahal pesanan dia sudah datang dari aku datang. Tapi, dia memutuskan tinggal dan baru pulang saat aku juga pulang. Bahkan mobilnya terus mengekor dibelakangku. Kelakuannya benar-benar membuatku kehabisan akal untuk menghadapi kelakuan tengil bin slengeannya.

"Kenapa sih harus Aksa?" Lagi, Abi mulai mencecarku.

"Apa sih!"

"Masa gue harus saingan sama keponakan gue sendiri? Tega banget sih ngebiarin gue kaya gitu."

"Makanya gak usah saingan. Mending lo mundur aja. Gak usah ganggu gue lagi!"

"Jahatnyaaa..." Sahut Abi. "Tapi, gak papa. Itu tantangannya dan letak keseruannya. Bukan Abi namanya kalo pantang menyerah. Kompetisi tetep kompetisi." Abi menepuk dadanya sebanyak dua kali. Bergaya seakan dirinya merupakan seorang pejuang. Membuatku mengernyit aneh dan pura-pura ingin muntah.

"Emang gue apaan segala ada kompetisi segala!"

"Ibaratnya, lo tuh kaya piala. Gue sama Aksa pembalapnya. Yang menang kan dapet piala. Gitu aja nggak ngerti sih, Gem?"

"Woi!! Kalo mau piala doang mah noh di tukang piala banyak. Sana, mesen! Bebas mau segede apa! Segede candi Borobudur juga sanggup kali tu!"

"Nggak perlu yang gede-gede. Lo aja udah cukup kok buat gue."

"BI!!! Berhenti ngomong bisa gak sih?! Pusing gue dengernya!!!"

"Kenapa sih lo bisa suka sama Aksa? Dia kan dua tahun di bawah lo! Emang lo mau punya cowok brondong?"

Mendengar kata keramat a.k.a brondong disebut-sebut. Aku tidak tahan untuk membalas kalimatnya.

"Walopun dia lebih muda dari gue, sikapnya dewasa! Nggak kaya lo! Dia juga nggak playboy kaya lo! Nggak ngerokok dan nggak macem-macem! Yang paling penting Aksa nggak bikin gue sakit kepala dan stress!"

"Yes! Gue bikin lo stress, Gem?"

Aku menatap Abi dengan pandangan bertanya-tanya. Ini anak sedang di jelek-jelekkin malah berkata yes? Sakit jiwa kali ya?

"Liat aja muka gue sekarang!" Tunjukku ke mukaku yang kuyakin memerah karena sedari tadi memakai intonasi suara tinggi.

"Nggak papa. Kalo gue bikin lo stress mulu. Pastinya gue selalu ada di otak lo, kan?" Abi tersenyum penuh kemenangan. "Seenggaknya, gue udah bikin otak lo terus mikirin gue. Seperti kata pepatah yang dibuat oleh Abimanyu Putra Mahendra, kepikiran terus dulu, suka-sukaan kemudian."

The Boy Next Window [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang