Perjanjian dengan Abi kemarin-kemarin itu entah merupakan keputusan sesat atau malah menguntungkan. Aku tidak ingin terlalu memikirkan satu masalah. Sudah cukup masalah-masalah bergantian. Aku tidak ingin stuck pada satu masalah. Masih ada masalah lain yang sudah menanti. Contohnya saat ini, aku menatap tumpukan kertas kuesioner yang sudah kubuat seminggu lalu. Seharusnya ini sudah diisi oleh orang-orang pada suatu perusahaan. Selama seminggu ini aku sudah berkeliling mencari perusahaan yang mau menerima kuesioner ku. Tapi, belum ada satupun yang dapat menerima.
Aku memijit pelipisku pelan seraya bergumam tidak jelas. Kubenamkan wajahku dibawah bantal. Meremas-remas bagian atasnya. Frustasi dengan keadaan yang harus menimpaku.
"Skripsi aja urusannya ribet begini. Apalagi ngurusin anak nanti ya Tuhan!!" Jeritku dalam bawah bantal sehingga suaraku seperti orang megap-megap.
Ponselku berbunyi menambah moodku yang jelek tambah anjlok. "Siapa sih yang nelpon disaat gue lagi males ngomong sama semua orang! Hah!!!" Tanpa melihat nama si penelpon, aku langsung me-reject telponnya biar benda itu diam.
"Elah, berisik!!" Aku melemparkannya lagi ke sembarang arah. Lagi, bunyi benda kecil tak berdosa itu terdengar. Cukup sudah, kesabaranku habis! Aku mengangkat tubuhku dan terduduk diatas kasur. Mengambil ponselku dengan gerakan kasar.
Makin kesal ketika nama Abi tertera didalam layar. "Ngapain sih ni anak nelpon segala!!! Padahal tinggal juga di sebrang!!!" Terpaksa aku mengangkat telponnya agar bunyi itu diam. Sudah mengambil ancang-ancang bersiap memaki-maki Abi. Tapi, suara disana lebih dulu terdengar.
"Cintaku, sayangku, kenapa sih tadi di reject segala?"
"Brengsek! Harus berapa kali gue bilang jangan panggil gue dengan panggilan menggelikan kaya gitu?! Lo budek apa emang nggak ngerti-ngerti sih! Kesel gue!!!"
"Et.. Sesuai perjanjian loh. Nggak boleh jutek, marah—"
"Berisik. Disana juga tertulis gue boleh marah kalo emang harus marah. Sekarang, gue berhak marah sama lo. Karena lo udah ganggu gue! Lo tau nggak sih kalo gue lagi stress? Dan bunyi telpon lo itu ganggu tau nggak!!!"
"Iya.. Iya.. Kenapa sih? Lagi PMS ya? Cerita sini sama gue. Apa gunanya punya pacar kalo nggak saling cerita?"
"Males banget cerita sama lo."
"Yaudah kalo nggak mau cerita. Mau dibawain apa? Gue lagi dijalan nih pulang ngantor." Oh iya. Aku lupa jam segini Abi baru pulang dan belum ada di kamar.
"Nggak perlu! Udah ya. Gue tutup. Bye!" Aku mengganti bajuku dan mengambil dompet didalam laci lantas turun kebawah. Mencari sosok keberadaan Pak Mukin. Niatnya ingin meminjam motor Pak Mukin untuk membeli mie ayam didepan. Saat turun, yang kulihat malah Aksa yang turun dari taksi.
Hampir saja aku terlonjak kegirangan mengingat dua hari ini Aksa memang tidak berada di kos. Dia pergi mengikuti sebuah seminar diluar kota untuk pemaparan final hasil PKMnya yang baru saja ia selesaikan dan tinggal menunggu hasil apakah nantinya akan dibiayai oleh DIKTI atau tidak. Aku lupa kalau hari ini dia sudah pulang. Mata kami bertemu. Aksa tersenyum sumringah mendapati kehadiranku.
"Eh, Gema, mau kemana?" Tanyanya.
"Beli makan," jawabku. "Gimana pemaparannya?"
"Lancar. Doain ya semoga lolos." Jawab Aksa. "Eh, iya, Gema nggak usah beli makan. Ini, aku udah beli nasi kotak. Tadinya buat Mas Abi, tapi katanya dia nggak jadi pulang sekarang. Diajakin temen kantornya nongkrong bentar."
Dalam hati aku bertanya. Pembohong nih si Abi. Katanya tadi udah dijalan? Taunya malah nongkrong dulu. Gayanya tadi nanya mau dibawain apa. Kalaupun aku nitip makanan ke dia. Kayaknya keburu aku tidur baru nyampe itu makanan. Keburu mati gara-gara kelaperan.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boy Next Window [Completed]
Romanzi rosa / ChickLitSiapa sih yang nggak pengin cepet lulus kuliah? Semua orang pasti pengin. Termasuk Gema! Tapi, mau gimana lagi? Rasanya susah banget buat ngerjain tugas akhirnya. Untungnya, ada Aksa. Cowok brondong satu ini yang memberikan semangat baru pada Gema...