Kalimat Aksa yang mengungkit soal hubunganku dengan Abi dan membawa-bawa hal-hal masa lalu antara aku dan Abi benar-benar membuatku termenung seharian ini. Ini sudah seminggu sejak kejadian di IKEA. Tapi, peristiwa itu seakan tidak ingin terlepas didalam benakku. Hal ini sudah kukonsultasikan dengan ketiga sahabatku.
"Dia nggak bilang lebih spesifik gitu soal kenapa dia nggak jadi sama Arum?" Keyna masih terus penasaran dan menanyakan soal Aksa yang tidak kembali dengan Arum. Bukan hanya Keyna yang penasaran. Akupun juga. Tapi, apa yang bisa kulakukan jika Aksa seolah tidak ingin membahasnya secara detil?
Things didn't get better, katanya.
Apa Aksa bukan tipe orang yang bisa berdamai dengan masa lalu? Kalau dia tidak bisa. Seharusnya dari awal dia menjauh saja dari Arum. Malah bagus, aku tidak perlu ketar-ketir seperti kemarin dan mengambil langkah konyol dengan.. hah.. aku sampai bosan harus menjelaskan ini. Ya, melakukan perjanjian sampah bin konyol itu.
"Menurut lo semua, dengan Arum yang se-perfect itu. Kenapa Aksa nggak mau ya?"
"Emang Arum perfect?"
"Almost, monyet cantikku. Definisi cantik paket komplit lah. Anjir kan gue berasa minder lagi."
Vio tertawa. "Bener juga deh kalo lo minder, Gem. Arum yang lo bilang almost perfect aja Aksa nggak bisa cinta. Apalah arti lo, Gem, remahan nastar."
"Mungkin Arum itu tokoh antagonis cantik kalo di film-film. Cantik diluar, busuk didalem."
"Apa sih? Kok kita jadi bahas Arum gini?" Gumamku. "Yaudahlah. Yang penting gue udah tau kalo Aksa udah nggak sama Arum. Gue punya kesempatan."
"Kesempatan gimana? Lo aja masih pacaran sama Abi."
Aku terdiam cukup lama. Inilah hal kedua yang juga membebani pikiranku beberapa hari terakhir ini.
"Makanya, gue berencana buat putus dari Abi." Jawabanku sontak membuat ketiganya tercengang.
Kanasya sampai menghentikan acara memakan potato yang ada digenggamannya. "Gimana caranya?"
"Emang lo nggak nyesel? Abi udah keren gitu. Pacar-able banget lah bahasa gaulnya."
"Lo aja kalo gitu yang pacaran sama Abi." Sahutku malas.
Kuhela napas pelan. Sudah dari kemarin-kemarin aku memikirkan untuk memutuskan Abi. Lagipula, aku sudah tahu soal Aksa dan Arum meskipun aku belum tahu sepenuhnya perasaan Aksa pada diriku.
"Lagian, gue pacaran sama Abi sekarang udah nggak penting. Arum udah musnah. Bye bye."
"Sian deh Abi dimanfaatin."
"Heh! Simbiosis mutualisme, gila! Enak aja lo nuduh gue manfaatin!" Tak terima dengan seruan Keyna yang terkekeh mendengar omelanku.
"Gimana tuh soal Abi yang masih penasaran sama perasaan dia ke lo waktu dulu?" Tanya Kanasya.
"Oh iya, yang lo bilang dia mau cari pembuktian."
Aku memutar kedua bola mataku acuh. "Ya, gue nggak peduli lah ya. Itu urusan dia sendiri."
"Terus, kapan lo berencana putusin si Abi?"
Aku juga masih mencari waktu yang tepat untuk mutusin Abi. Rasanya aneh sekali kalau aku memutuskannya lewat pesan singkat. Seperti seorang pengecut saja. Dan aku tidak mau disebut pengecut.
--
Bunyi telpon membangunkanku dari aktivitas tidur pagiku. Siapa sih pagi-pagi begini udah menelpon? Kenapa pula aku lupa mematikan ponsel? Kulirik jam di dinding, samar-samar kulihat jam sudah menunjukkan pukul 9 pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Boy Next Window [Completed]
Chick-LitSiapa sih yang nggak pengin cepet lulus kuliah? Semua orang pasti pengin. Termasuk Gema! Tapi, mau gimana lagi? Rasanya susah banget buat ngerjain tugas akhirnya. Untungnya, ada Aksa. Cowok brondong satu ini yang memberikan semangat baru pada Gema...