Nanar kutatap layar ponselku.
Masih sama, tak ada pesan darimu.
Seharian ini tak kuketahui kabarmu.
Beberapa minggu ini kamu bukan lagi kamu yang dulu.Satu tahun lalu,
aku hampir tak bisa berhenti tersenyum sebab pesan indahmu yang selalu kau kirimkan padaku di setiap menitnya.Sembilan bulan lalu,
kita saling mengucap nama dalam setiap bait doa yang kita panjatkan.
Berharap kita akan menua bersama.Enam bulan lalu,
bingkisan-bingkisan cantik nan indah seringkali tiba-tiba muncul di depan rumahku."Kita jauh, hanya ini yang mampu aku kirimkan sebagai pengganti diriku sementara."
Aku memeluk erat boneka teddy bear yang kau kirimkan dari tempatmu menuntut ilmu di negeri seberang.
Di lain waktu, kau mengirimkan beberapa novel.
"Ini ada novel Dilan dan Milea. Semoga kamu suka ya. Dibaca saat aku tak bisa menemanimu bertukar pesan, agar kamu tak bosan."
Aku tersenyum, segera aku baca habis novel itu.
Kuceritakan isi novel itu padamu dengan napas tersengal-sengal via telpon."Kenapa sih Dilan dan Milea harus putus? Kenapa mereka tidak mencoba berdamai dengan keadaan dan salah satunya mengalah?" tanyaku kesal, tak setuju dengan akhir cerita mereka.
"Itu namanya takdir, sayang. Kamu lucu deh kalo lagi kesal, pasti cemberut pipinya makin gemas pengen dicubit." dengan sabar kamu menanggapiku beserta candaan manis itu.
Aku diam, pipiku bersemu merah. Kamu selalu tau cara membuatku tersenyum meski raga kita sedang tak bersama.
Tiga bulan lalu,
Pesanmu semakin berkurang.
Kabarmu sedikit menghilang.
Bingkisan itu juga tak datang lagi.Aku sedikit resah, alih-alih lama tak berbicara.
Aku sedikit khawatir perihal jarak yang jadi penghalang.
Aku jadi khawatir, takut terjadi apa-apa padamu.Satu bulan lalu,
kita saling berhubungan,
saling bertukar kabar sembari tertawa canggung, karena sudah lama tak berhubungan.Lalu aku menceritakan kepadamu perihal aku yang sedikit khawatir, karena kabarmu yang semakin lama semakin sedikit.
“Sayang, aku takut kehilangan kamu. semakin hari, kabarmu semakin sedikit. Aku takut kamu pergi.” ucapku menceritakan ke-khawatiranku via telpon.
“Mungkin hanya perasaanmu saja, jangan takut sayang. Aku tak akan pergi. Sudah dulu ya sayang, aku sudah tidak ada waktu lagi.” Jawabnya tenang.
Aku tersenyum, berusaha menghilangkan ke-khawatiranku. Mungkin betul katamu ini hanya perasaanku saja.
Satu minggu yang lalu,
Kita akan bertemu,
sambil menunggumu di cafe pada meja nomor 25, di dekat bandara agar kau tak perlu jauh-jauh mencariku di tempat lain.
Aku menunggumu dengan dua cangkir Mocca hangat sembari menatap ponselku, untuk melihat jam dan menunggumu kembali.Aku khawatir sudah pukul 20:00 kamu belum tiba, pada tempat pertama kita berkencan dulu.
Aku tak berhenti menatap ke-arah luar mungkin saja kau sedang berteduh di bawah ruko kosong itu, karena cuaca yang tidak baik hingga menurunkan rintik-rintik hujan yang menemaniku di balik kaca di caffe ini.
Aku berusaha menghubungimu namun tak kunjung kau angkat. Sudah pukul 21:45 aku masih menunggumu berharap kau datang. Tinggal aku di caffe itu masih dengan secangkir Mocca di depanku. Aku menyesap sedikit demi sedikit, yang satu utuh dan yang satu runtuh.
Aku masih menunggumu, berharap kau datang. Sekarang pukul 23:59, satu menit lagi hari sudah berganti dan aku masih setia menanti.
Tak ada tanda-tanda kau datang lalu ku bergegas pulang.
Membiarkan diri di basahi hujan, sembari berdoa semoga kau tak apa.Besoknya aku menatap layar ponselku berharap kau mengabari dan meminta maaf atas ketidak hadiranmu kemarin.
Hitam, Putih. Tak ada pemberitahuan, akan pesan atau panggilanmu di layar ponselku.
Hingga dua hari lalu,
Kau mengabariku, mengajakku bertemu di caffe pertama kita berkencan.Aku senang bukan kepalang.
senyumku sumringah tak tertahan.
Akhirnya rinduku akan terobati.
Kau mengajakku bertemu di caffe 25, pada tanggal 25, di meja nomor 25.Sesampainya di caffe, aku bertemu denganmu kau berdiri dan tersenyum dari kejauhan, sedangkan aku tersenyum di depan pintu caffe, segera berlari dan memelukmu untuk melepas rindu.
Kau tak membalasnya.
hanya aku yang memelukmu begitu erat tak ingin melepaskan hingga kau bilang “Sayang, maaf aku sesak,” hingga aku melepaskan pelukan itu.Aku duduk di depanmu, kau menyesap mocca pada cangkirmu sedang aku mengaduk-aduk milikku.
“Sayang, aku ingin bicara,” ucapmu. sedang aku mengangguk, masih tersenyum menatapmu.“Aku mau minta maaf sama kamu,” ucapmu saat itu sedang senyumku sedikit memudar.
“Loh kenapa,?” tanyaku bingung.
“Aku gak bisa melanjutkan hubungan kita. Aku minta maaf aku gak bisa. Maaf aku gak bisa jadi yang terbaik untukmu. Semoga kamu bahagia dengan yang bukan aku.”ucapmu lalu meninggalkan aku yang masih menatapmu tak percaya. Kau pergi tanpa berkata apapun lagi. Sedangkan aku diam dan meneteskan airmata.“Aku bahagia, pernah punya kamu. Aku bahagia walaupun raga kita tak pernah bersama.Tapi mengapa kamu pergi? baru saja rinduku terobati.” Tanyaku sendiri dengan meneteskan airmata. Tepat pada tanggal 25, pada caffe 25, dan Nomor meja 25.
Katamu kau tak ingin pergi, namun kenyataannya kau pergi meninggalkan luka begitu dalam. Dengan angan-angan yang sudah beterbangan.
Baiklah aku terima. Semoga kau berbahagia pada yang bukan aku, maaf jika karenaku kau tak tenang di Negeri sebrang.
Maaf karenaku kamu tak bahagia.
Satu permohonanku pada Tuhan, semoga kau bahagia dan senantiasa di lindungi. Berbahagialah selalu tak apa aku di sini terluka. Setidaknya kau bahagia.
Kolaborasi by: Triplez & A9.
Judul: Katamu kau tak'kan pergi.
![](https://img.wattpad.com/cover/96375387-288-k766482.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Detak Detik Perasa
PoetryHanya aksara... Sebatas aksara yang akan abadi... Tanpa dia mengetahui... Bahwa tentangnya juga pernah tertulis dan akan abadi terbawa mati.