Bagian 14

20.1K 1K 11
                                    

(Nar)

Seharusnya hari ini ia kekantor. Tapi apa kata orang-orang melihat lebam di wajahnya ini. Lagipula ia tidak punya mood untuk bekerja setelah kejadian itu. Ya, kejadian dimana ia menghajar teman sekantornya, Gunawan.

Ia mungkin saja tidak percaya pada Tiana, meski luka goresan dilehernya itu menunjukkan ada indikasi kekerasan. Waktu itu dia berfikir mungkin saja laki-laki berambut ikal itu melakukannya. Lalu, lebam di pergelangan tangannya itu membuatnya cukup penasaran hingga bang Lukman menceritakan semua.

Kilas balik

"Apa istri kamu baik-baik saja?" Tanya bang Lukman ketikaFadhil membukakan pintu.

"Kenapa bang? Abang tau..?" Fadhil mengira pasti bang Lukman mencurigai laki-laki berambut ikal itu.

"Waktu itu abang pulang dari apotik belikan pesanan obat untuk istrimu. Abang terlambat belinya karena baru datang. Di lobi abang bertemu dengan laki-laki berambut ikal, katanya namanya Dino. Dia menanyakan apakah benar Tiana kamu tinggal disana. Dia ingin menemuinya untuk memberi tahu bahwa ayahnya sakit. Laki-laki itu mengira Tiana tinggal dengan teman perempuannya. Dia tidak tau masalah ini" ceritanya..

Ah, bang Lukman menceritakannya terlalu panjang. Ingin rasanya Fadhil mempersingkat tapi  dia ingin tau apa yang ada difikiran laki-laki itu terhadap Tiana.

"... dia bilang abang sepupunya Tiana, makanya abang ajak dia ke apartemenmu sekaligus mengantar obat ke Tiana. Eh, tiba disini abang dengar suara orang berteriak menggedor pintu didalam. Abang kira kamu, dan masalah keluarga kalian. Tapi, si Dino langsung saja mendobrak pintu itu. Dia bilang kalau adik sepupunya belum menikah. Abang berfikir buruk padamu dil. Waktu kami dobrak, kami melihat temanmu Gunawan menggedor pintu kamar mandi dengan wajahnya kusut. Abang sudah melihat hal yang tidak beres dari sana. Melihat kami Gunawan langsung kabur, tapi Dino sempat meninju wajahnya. Abang mengejarnya dan sementara si Dino menyelamatkan Tiana"

Fadhil tak percaya apa yang di ucapkan bang Lukman. Tapi tidak mungkin laki-laki itu sekongkol dengan Dino dan Tiana sementara dia lebih kenal dekat dengannya.

"Dia kabur dengan mobilnya, abang belum lapor polisi, makanya abang tanya gimana keadaan istrimu?"

"Dia baik-baik saja bang"

"Apakah guna sudah melakukan macam-macam padanya?"

Fadhil menggeleng "Saya tidak tau"

"Kalau kau ingin melaporkan ini kepolisi, abang akan lakukan. Tapi entah kalau kau mau menjaga nama baik keluargamu"

Fadhil diam, ia menatap bungkus obat yang ada di tangannya "Makasih bang" ucapnya pelan. "saya lihat Tiana dulu"

Bang Lukman mengangguk.

.

Setelah mengantar Tiana, malam itu juga ia menemui Gunawan. Tapi laki-laki yang dikenalnya setahun lalu itu berkata sebaliknya. Bahwa ia memergoki Tiana berduaan dengan laki-laki berambut ikal itu di apartemennya.

"Lalu kenapa kau ke apartemenku?" Tanyanya selidik

"Aku mencarimulah"

Jawaban sahabatnya membuat Fadhil tersenyum.

BRUGKK

Kepalan tinjunya melayang ke pelipis kiri Gunawan. Itu jelas sekali bahwa laki-laki itu berbohong padanya. Apa yang ia lakukan di apartemennya bila dia sudah tau bahwa seperti jadwal biasa ia, Gunawan dan Anton nongkrong di café biasa. Mereka tidak kenal baru seminggu ini saja. Tidak mungkin Gunawan masih rancu dimana keberadaannya.

"Brengsek kau Dil!!"

@@@

(Hari ke empat)

(Tiana)

Aku mendatangi apartemen itu lagi, dengan tidak dijemput Fadhil. Ini bukan berarti aku rindu padanya dan ingin tinggal disana lagi. Aku masih takut dia akan berfikir lagi utuk menjualku ke temannya. Selain itu aku juga ingin memastikan bahwa laki-laki itu benar-beanr sakit atau tidak. Ah, sebenarnya tujuan utamanya adalah aku ingin mengambil beberapa pakaianku yang masih tertinggal disana.

"Tiana?" Sapa seseorang. Aku kaget ketika salah seorang satpam itu menghampiriku. Bagaimana dia tau aku Tiana? "Sudah baikan?"

Aku mengangguk, laki-laki seusia ayah itu tersenyum menatapku. "Saya naik keatas dulu ya pak?"

Laki-laki itu mengangguk. Uh, aku agak ragu, tapi ku lanjutkan saja. Kuketuk pintu apartemen itu. Tapi tidak ada reaksi apapun. Ah, aku lupa belnya. 5 menit menekan bel itu baru terdengar suara pintu itu terbuka.

Wajah Fadhil menyembul di pintu yang terbuka kecil itu. Ia menatapku dengan tatapan datar, tidak, mungkin tatapan meringis kesal. "Sudah kubilang aku akan menjemputmu" katanya pelan meninggalkan pintu. Aku masuk dan mengunci pintu itu lagi. Benar, aku melihat lebam di pipi kirinya. Tapi tidak ada kaki yang di pen.

"Aku hanya ingin mengambil barang yang tertinggal" kataku pelan. Aku melihat dia yang duduk di ranjang sambil menonton tv. Ah, aku tidak berniat menanyakan kenapa lebam itu. "Apa kau mengangkat jemuran?" Tanyaku buru-buru menghampirinya.

Ia menatapku datar "Mencari pakaianmu?"

"Dimana?"

"Keranjang pakaian" katanya menunjuk keranjang pakaian yang tak jauh dari lemari. Aku menuju keranjang itu dan mencari pakaianku yang bersatu dengan pakaiannya. "Kalau kau sempat tolong cucikan pakaianku" katanya lagi.

Mencuci pakaian, seolah aku disadarkan bahwa statusku saat ini adalah istrinya "Dimana?"

"di dalam pengering mesin cuci" jawabnya menatap televisi.

Setelah menemukan barang yang aku cari dan menyimpannya kedalam tas bersama barang yang lain, aku menuju kamar mandi dimana ada mesin cuci disana. Aku menemukan kemeja yang di pakainya mengantarku malam itu penuh dengan darah di bagian dada. Seberapa parah lukanya? Tidak mungkin dia akan selamat bila jatuh dari lantai 10, toh kakinya juga tidak di pen. Tapi darah ini untuk luka apa?. Sebaiknya nanti aku tanyakan padanya.

@@@

Nikah Siri (✔️)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang