(Fadhil)
"Mana Anton?"
"Pulang, katanya mau taraweh di masjid dekat rumahnya" jawab Tiana masih sibuk mencuci piring. "Tidak makan?"
"Tidak selera makan"
"Ada sayur asem"
"Kau tau... ahh kau memasakkan untuk Anton" tapi aku ingin mencicipinya.
"Aku tau dari Anton kalau kalian suka sayur asem" jawabnya masih dengan wajah serius mencuci piring.
Aku melihat sayur asem itu tinggal setengah. Mereka duluan makan tanpa menungguku. Kelewatan!.
"Selera makan kalian cukup bagus" kataku duduk tak bersemangat di kursi itu. Aku melirik Tiana yang baru saja menyelesaikan mencuci piring. Ia mengeringkan tangannya lalu berbalik menatapku. Wajahnya terlihat pucat, entah apa karena aku sudah lama tidak melihatnya.
Ia mengambil piring dan meletaknya di depanku. "Anton memintanya untuk dibawa pulang" jawabnya seolah tau mengenai sayur asem itu. "Makanlah,, aku sudah menyiapkan ini untukmu, aku tidak tau besok-besok kau masih bisa atau tidak menikmatinya" katanya tersenyum.
Ah, pasti karena perjanjian pernikahan ini akan berakhir.
"Kau tidak bisa membuatku iba dengan hal itu"
Ia malah tersenyum. Ah, aku rindu melihatnya seperti ini.
"Aku tau" jawabnya pelan "Aau ingin makan? Aku bisa menemanimu, aku juga..."
"Aku tidak lapar" jawabku cepat.
Lagi-lagi dia tersenyum. Ada apa dengan wanita ini?. "Baiklah, aku akan tunggu. Sudah solat? Aku ambil air wudhu dulu" katanya meninggalkanku. Bahkan suara langkahnya tak terdenagr sama sekali.
Astaga!, kenapa aku ini?!! Aku tidak berharap bersikap seperti ini. Ah, jika saja Tiana tidak tau mengenai masalah ini, andai saja dia diam saja dan tidak berani-beraninya membantah laranganku. Padahal aku sudah berencana untuk menjemputnya malam ini. Aku bahkan sangat lapar dan terlalu gengsi untuk menyentuh masakan itu.
Ah, selagi dia tidak ada apa salahnya kan?. Aku melihat mangkuk besar berisi sayur asem itu. Dengan sendok kucicip dan mengambil beberapa biji melinjo berwarna merah. Rasanya cukup berbeda dengan buatan mama. Tapi aku mengakui ini enak.
Cukup lama Tiana dikamar mandi, padahal aku juga ingin mengambil wudhu. Aku meninggalkan dapur menuju kamar mandi. Pintu itu tak tertutup rapat dan aku melihat Tiana yang berdiri di wastafel sambil membersihkan wajahnya. Mendengar pintu itu di buka lebar ia kaget dan menutup mulutnya.
"Apa yang kau lakukan selama ini dikamar mandi?" Tanyaku mendekatinya. Ia mengeleng pelan membelakangi wastafel menatapku. Tapi aku menemukan gelagat aneh dari dirinya...
Benar saja!
"Tiana!"
"Aku tidak apa-apa" katanya masih menutup mulutnya, lebih tepatnya hidungnya. Air di wastafel itu berwarna merah begitu pula telapak tangannya.
"Tidak apa-apa bagaimana?, darah itu.."Aku buru-buru mencari tissue, sialnya benda itu aku habiskan untuk menyapu darahku ketika itu. Aku membuka kemejaku dan memberikannya padanya
Tiana menggeleng, lalu dia berbalik menunduk ke wastafel membersihkan darah yang masih keluar di hidungnya. Aku memegangi rambutnya yang tergurai bercampur dengan air di wastafel itu.
"Apakah sakit?"
Dia menggeleng, sesekali matanya terpejam seolah itu sakit. Astaga bahkan bahunya terasa dingin. Aku tidak menyadari bawa wanita ini semakin kurus setelah beberapa hari kutinggal.
"Aku tidak apa-apa" katanya mengangkat kepalanya. Aku membersihkan darah yang bercampur air di pipi tepi hidungnya.
Ya allah, apa aku terlalu banyak menyakiti wanita ini?. Aku menyadari bahwa itu air matanya, ia menatapku dengan airmatanya dan wajah yang pilu.
"Maaf" ucapnya pelan. Lalu ia memelukku sambil menangis. "Aku minta maaf telah salah sangka padamu, aku minta maaf telah membuatmu dipenjara karenaku, aku minta maaf untuk luka itu. Aku minta maaf dil,, maaf"
Bahkan jantungku seolah tersentrum oleh tegangan listrik ribuan watt. Aku memeluknya dengan mata yang mulai berkaca-kaca.
"... Aku minta maaf untuk semua kesalahan yang kubuat, ide gila ini telah berdampak buruk bagi banyak orang"
"Tiana"
"Aku mencintaimu dhil,, aku mencintaimu.... Aku minta maaf telah merusak hidupmu dengan keegoanku dan rencana gila ini. Aku minta maaf"
"Aku..." Ah! Aku bahkan tak tau harus berkata apa. Kurasakan tubuh Tiana semakin mengecil dipelukanku. Dingin, seolah aku sedang memeluk orang mati. "Ayo kerumah sakit"
Ia menggeleng "Aku bisa tahan,,"
" Kau bahkan bertumpu di tubuhku untuk berdiri" kataku masih memeluknya. Tidak ada jawaban darinya...
"Maafkan aku Fadhil"
"Aku memaafkanmu, berhentilah menangis gadis melo, ingusmu terasa di bahuku"
Aku mendengar ia tertawa pelan. "Maaf" ucapnya melepas pelukannya, tapi masih menumpukan tubuhnya di tubuhku.
"Aku sudah kenyang maaf untuk hari ini"
"Aku lapar" katanya dengan nada manja masih sesenggukan. Ah, aku merasa bahwa ini Tiana yang awal kukenal. Yang aku suka.
"Kau sudah makan dengan Anton?"
Ia menggeleng "Aku menunggumu" jawabnya.
Aku terdiam, ah ini membuatku merasa bersalah. Tapi aku enggan untuk meminta maaf untuk kata ketusku padanya tadi.
"Kenapa kau tidak bilang dari tadi?.Ya sudah, ayoo"
"Gendong" katanya lagi menatapku manja. Mata itu berkilauan karena air mata.
"Heeh, dia ini!, baru aja minta maaf udah nyusahin, malah dibuat lagi" kataku sok kesal. Dia tersenyum ketika aku menggendongnya keluar kamar mandi. "Eh kita belum solat" kataku berbalik memasuki kamar mandi. Tiana tertawa, diikuti oleh aku.
@@@
KAMU SEDANG MEMBACA
Nikah Siri (✔️)
عاطفية"Benar-benar parah kamu Tiana, bagaimana aku bisa mempercayaimu?, mungkin saja kamu sudah pernah melakukan transaksi seperti ini sebelumnya, 50 juta aku bisa melamar gadis lain dan menjadikannya istri!" "Kamu memang harus melakukan itu" jawabku en...