"Selamat siang, Pak" Seraya mengeratkan genggaman tangannya pada tangan kecil Leon, Rica tersenyum kecil saat ia sudah berada didepan pintu ruangan pusat informasi.
"Iya. Cari apa dek? Ada yang bisa saya bantu?"
Adek ndasmu! Rica mencibir.
"Ini katanya ada yang kehilangan anak? Kalau saya ga salah sama ciri-cirinya yang ini bukan,Pak?" Rica melirik Leon yang hanya diam memperhatikan interaksi antara dirinya dan salah satu penjaga ruangan pusat informasi taman hiburan tersebut. Anak itu tampak bingung dan mencoba memahami.
Penjaga itu melebarkan pupil matanya terkejut. Ia kembali masuk kedalam ruangan pusat informasi dan tampak memanggil salah seorang rekannya.
"Masuk dulu, dek" sahut penjaga itu dari dalam ruangan.
"Anjir nih orang, sejak kapan gue jadi adeknya" Rica menutupi rasa jengkelnya dengan tersenyum saja. Ia menggiring Leon untuk ikut masuk kedalam, namun anak kecil disampingnya ini semakin mengeratkan tautan tangan mereka.
"Kita dimana kak?" bocah itu meringsek berlindung kebelakang tubuhnya. Entah apa yang ditakutkan bocah itu, Rica tak tahu.
"Udah kamu jangan takut gitu Leon, ga ada yang jahat kok" Rica mengelus puncak kepala itu lembut, memberi ketenangan dan kenyamanan tersendiri pada Leon.
"Ini ada yang bawa anak sama seperti ciri-ciri yang Bapak sebutkan, bisa dilihat dulu pak?"
"Mana?" pria itu mengerutkan dahi bingung saat di rasa tidak menemukan anaknya disekitar ruangan ini, hanya ada seorang gadis muda dengan memiliki empat kaki saat berdiri. Empat kaki? Tunggu, pria itu mengenali sepatu dari salah satu kaki itu. Maksudnya kaki kecil yang ada dibelakang gadis muda itu.
"Mbak!" Rica menoleh mendengar suara yang sepertinya ditujukan padanya. Siapa lagi? Hanya dia satu-satunya perempuan yang ada didalam ruangan ini.
"iya pak?"
"Mana anak tadi?"
"Oh, hehehe. Ketutupan sama saya pak" Rica buru-buru menyingkir dan menampakkan bocah tampan yang sedari tadi bersembunyi dibelakangnya.
"Leon!" Rica langsung menoleh saat suara berat bernada senang tertahan itu menyeru.
"Ayah" Leon langsung menghambur kedalam pelukan pria yang disebutnya sebagai Ayah tersebut. Binar kebahagian dan kelegaan sangat kentara pada iris keduanya.
Tak Rica hiraukan percakapan apa yang terlontar antara anak dan ayah itu. Yang gadis itu lakukan adalah hanya fokus pada satu objek didepannya. Ayah Leon.
Tinggi perfect, kulit sawo matang yang bersih, mata hitam yang menyorot tajam, serta rambut dan alis tebal yang hitamnya sekelam malam, jangan lupakan bibir merah penuh yang terpahat rapi diwajah pria itu. bukan perokok. Batin Rica menilai kilat.
"Ini serius Ayah si Leon? Kok pas pertama lihat gue pengennya dihallalin sih" Rica buru-buru menggelengkan kepalanya, menepis pikiran bodoh yang selalu hinggap diotak kecil berpentium rendah miliknya.
"Sadar Ca, itu suami orang" batin Rica meneriaki dirinya sendiri yang terkesan seperti jablay.
"Kak. Kakak ga apa-apa?" Leon membuyarkan lamunan bodoh Rica akan Ayah bocah itu. Benar-benar tidak tau sopan santun memikirkan suami orang!
"Eh. enggak kok heheh" Rica tersenyum canggung kemudian melirik malu kepada pria disebelah Leon.
"Terimakasih sudah menemukan anak saya" pria itu mendekati Rica kemudian tersenyum kecil saat sudah berdiri dihadapan gadis itu.
"I-iya Om sama-sama"
'Yaampun, wangi banget kayak kuburan baru. Mana senyum lagi, gue masih perawan kan?' Rica membatin sewot. Tidak mungkin 'kan hanya diberi senyum seperti itu saja bisa membuat keperawanan Rica hilang?
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENDIPITY
Teen FictionSingkat saja. Pertemuanku dengan pria itu adalah ketika aku tidak sengaja menemukan bocah lucu yang tengah menangis kecewa ditengah padatnya pengunjung kala weekend. Siapa yang tahu? Bocah kecil itu lah yang justru membuatku menemukan kebahagiaan se...