BAB IV - Gara-gara Kartu Nama

2.3K 180 12
                                    

Tiga hari setelah pertemuan tak disengaja Rica dan Dito saat itu disalah satu pesta pernikahan teman Rio, selama itu pula Dito dibuat terganggu gara-gara ia memberikan nomor ponselnya pada Rica.

Dito ingat betul alasan gadis itu meminta nomor ponselnya karena alasan kemudahan untuk bertemu  dengan puteranya Leon. Tanpa curiga sedikit pun  Dito memberikan nomor pribadinya dengan sangat enteng. Tanpa tau, apa sih yang akan terjadi. Ia tak pernah mengira remaja tersebut akan se-freak ini.
Rica semakin gencar mencari perhatian Dito. Apalagi saat tau status pria itu ternyata sebagai orangtua tunggal. Gadis itu tak mau melewatkan kesempatan yang ada didepan mata.

Rica selalu saja mengiriminya pesan yang membuat ponselnya terlihat selalu ramai. Padahal pesan tak penting yang ia dapat, Seperti  ucapan selamat pagi, selamat malam,  selamat siang. Apakah sudah makan siang? Apakah sudah makan malam?

Semua pesan itu hanya berjarak waktu beberapa menit saja, dan itu yang sangat membuat Dito jengkel setengah mati.

Dito menyugar rambut nya kebelakang kemudian menyandarkan punggungnya pada kursi kebesarannya. Mendapat tanggung jawab sebagai Direktur Utama sangatlah berat, ditambah masalah ponselnya yang selalu ramai membuat pria itu ingin sekali melempar ponselnya dari lantai dua puluh satu yang ia pijaki sekarang.

Rica’s calling

Astaga anak ini...sungguh menyebalkan! ini adalah panggilan masuk yang ke duapuluh delapan kali dalam kurun waktu lima menit saja.
Dito menggeser ikon hijau dilayar ponselnya, pria itu hanya menempelkan benda pipih tersebut di telinganya tanpa mau berucap apapun.

"Assalamualaikum, om" setelah sapaan itu, kekehan kecil terdengar malu diujung sana. Ralat. Menyebalkan maksudnya. Rica mana ada rasa malu lagi perihal begini.

"Waalaikumsalam. Ada apa?" jawab Dito datar.

"Om lagi apa? Aku ganggu ga?"

"Saya sibuk Rica. Jika kamu menelpon saya hanya untuk menanyakan hal yang kurang penting, saya rasa lebih baik kamu tutup telepon nya" Dito menghela nafas nya kasar. Mengumpat dalam hati untuk tidak memaki Rica sekarang juga.

"Yaudah deh kalau aku ganggu, oh iya Om.. Leon sekarang lagi main sama aku, kita lagi makan siang dirumahnya aku," nada suara diujung sana masih terdengar riang, walau penolakan sudah didapat. Namun.. Astaga! Pria itu lupa menjemput putra nya.

"Kamu nyulik Leon?" tanya Dito spontan, yang langsung membuat Rica diseberang sana tergelak kencang.

"Ga mungkin lah Om, masa ada orang nyulik ngasih tau alamatnya tanpa minta tebusan sih" tawa Rica semakin kencang terdengar. Ia membayangkan wajah Dito dibalik telepon tersebut pasti sangat menggemaskan.

"Emang suara aku kayak orang lagi ngancem yah?" Rica menghentikan tawanya dan mulai mengeluarkan nada suara serius.

"More than that" jawab Dito asal.

"serius?" Rica bertanya dengan nada suara tak percaya. Bisa-bisanya Dito bilang begitu.

"Saya tutup"

"Jangan!" Rica berseru cepat. Sudah ambil paket nelpon buat menghubungi Dito juga, kalau digunakan sedikit kan mubazir. Pikir gadis itu tak rela.

"berisik" Dito reflek menjauhkan ponsel yang ia pegang dari telinganya. Pria itu mendecak kesal.

"Om, nanti om aja yah yang jemput Leon" Nada suara Rica kembali terdengar seperti biasa.

"Saya akan suruh sopir saya untuk jemput. Saya sibuk Rica”

"Ga boleh!" Sekali lagi, Dito reflek menjauhkan ponsel yg ada di genggamannya dari telinga.

"Jangan teriak! Kamu pikir saya tuli?!" Dito mendecak malas. Menanggapi gadis satu ini sama seperti menanggapi neneknya yang bar-bar. Gadis ini benar-benar sebelas duabelas dengan neneknya.

SERENDIPITYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang