***
Suasana dimobil terasa hening dan dingin. Baik Rica maupun Leon tak sanggup membuka pembicaraan.
Rica bahkan sampai pindah duduk ke kursi belakang bersama Leon. Ia tak mampu duduk disamping Dito dalam keadaan mood pria itu yang sedang buruk. Dito benar-benar mengerikan.
"Kamu sogok Leon pake apa, sampai dia mau panggil kamu dengan sebutan Bunda?" suara Dito terdengar dingin dan tak bersahabat di telinga Rica. Mata pria itu hanya tertuju ke depan pelataran sekolah Leon yang mulai sepi.
"Gak kok. Aku aja kaget pas Leon manggil aku Bunda" nada suara Rica terdengar sarat akan protes karena tuduhan tak berdasar Dito. Ia sendiri tidak tahu apa yang mendasari Leon sampai memanggilnya dengan sebutan seperti itu.
"Ayah.." mendengar suara Leon yang menginterupsi ditengah-tengah pembicaraan ia dan Rica, Dito melirik dari kaca spion depan. Ia melihat puteranya menundukkan kepala seraya menggenggam tangan Rica erat.
"Ayah udah janji ga akan marah sama Leon dan Bunda hari ini"
"Ayah ga pernah bilang setuju Yah, Leon" potong Dito cepat. Dia benar-benar benci Leon memanggil Rica dengan sebutan tersebut. Baginya, tak ada yang lebih pantas Leon panggil seperti itu kecuali Ibu kandung anak itu sendiri, untuk sekarang
"Leon cuma mau pamer ketemen-temen.. Soalnya mereka suka ceritain Bunda mereka. Sedangkan Leon ga ikut cerita karena Leon ga punya Bunda" Leon menahan isak tangisnya sekuat tenaga. Ayahnya sangat benci saat ia menangis. Karena Dito pernah mengatakan padanya jika ia menangis, berarti ia adalah anak perempuan yang cengeng.
"Leon minta maaf, Ayah.."
"Leon juga minta maaf sama kak Rica." Leon mengeratkan genggaman tangannya pada Rica.
"Ga apa-apa kok Leon sayang.. Kak Rica ga marah"
"Kak Rica maafin Leon?" Leon mendongakkan kepalanya menatap Rica yang tengah tersenyum maklum kearahnya.
"Itu bukan kesalahan menurut kakak. Jadi ga ada yang perlu minta maaf dan yang memaafkan" Rica mengacak rambut Leon gemas. Mengapa anak semenggemaskan ini harus merasakan haus akan kasih sayang dari seorang ibu?
"Ayah.. Ayah, Leon minta maaf" Leon kembali berbicara lirih, melihat kepala ayahnya dari arah belakang yang masih menatap lurus kedepan.
Mereka masih dipelataran sekolah Leon. Tepatnya diarea parkiran dan Dito belum menjalankan mobilnya."Ayah maafkan. Tapi lain kali kalau Leon mau bertindak atau mengambil keputusan yang butuh persetujuan Ayah, Leon harus izin Ayah terlebih dahulu"
"Iya Ayah.. Leon janji. Terimakasih" Senyum dibibir kecil bocah itu akhirnya terbit juga. Ia menghapus air matanya yang sempat turun dari pelupuk matanya menggunakan punggung tangan kecilnya pelan.
"Oke.. Leon mau apa sekarang? Mau makan siang dimana?" Dito kembali membuka suaranya untuk mencairkan suasana. Nada suaranya ia buat se-friendly mungkin agar Leon tidak canggung padanya. Ia sadar, tak seharusnya ia membuat anak itu sedih disaat hari kelulusannya.
Tapi entah mengapa perasaan tak suka ketika Leon menyematkan panggilan 'Bunda' tersebut untuk orang lain, mampu membuat Dito mengesampingkan perasaan sedih Leon daripada perasaannya sendiri. Ia sadar ia egois sekali hari ini. Untuk itu ia akan menebusnya.
"Leon mau makan bento, Yah.."
"Oke!" Tanpa basa-basi Dito segera menghidupkan mesin mobilnya menuju ke salah satu restoran bento yang ada di Jakarta Selatan.
"Om Dito bentar deh.." baru saja mereka keluar dari gerbang sekolah Leon, Rica kembali menginterupsi fokus Dito yang sedang menyetir.
"Bi Aya ketinggalan,"
KAMU SEDANG MEMBACA
SERENDIPITY
Teen FictionSingkat saja. Pertemuanku dengan pria itu adalah ketika aku tidak sengaja menemukan bocah lucu yang tengah menangis kecewa ditengah padatnya pengunjung kala weekend. Siapa yang tahu? Bocah kecil itu lah yang justru membuatku menemukan kebahagiaan se...