Seperti biasa, hari rabu menurut kelas XII IPA 1 benar-benar hari yang terkutuk, pasalnya, pelajaran matematika minat dengan pak Anhar terasa menyebalkan. Mereka semua sebenarnya menyukai pelajaran matematika minat, hanya saja pak Anhar yang membuatnya terasa menyebalkan.
"Anak-anak, hari ini kalian ulangan harian, ya!" ucap pak Anhar ketika mendudukan dirinya di kursi guru. Sontak seisi kelas riuh akibat ulangan dadakan ini.
"Kan bapak gak bilang kemarin, kenapa dadakan gini sih, pak?!" tanya Bimo, si ketua kelas dengan setengah emosi, yang lain membenarkan ucapan Bimo.
"Betul tuh, pak. Kita belum ada persiapan." balas Hasan mengarah ke pak Anhar.
Pak Anhar menautkan alisnya, "Gitu aja kok ngeluh? Jaman pas bapak sekolah dulu lebih gak adil, bapak dulu kalau ulangan matematika suka dadakan, disuruh ke depan ujiannya, kerjakan dipapan tulis, kalau gak bisa kena pukul pake rotan." ucap pak Anhar, semuanya terdiam.
"Makanya, kalau ada ulangan atau pekerjaan rumah, baru kalian belajar. Kalau gak ada, pasti gak belajar ya, kan?" tanya pak Anhar, yang lain masih tetap diam, mencoba untuk sabar.
"Tapi, pak. Sesuatu yang belum dipersiapkan sebelumnya, hasilnya gak bakalan bagus." ucap Bagas, yang lain bersorak sambil mengomentari ucapan Bagas yang benar adanya.
Seisi kelas ribut membuat Ana jengah, apa salahnya sih ulangan daripada ngulur-ngulur waktu kayak gini?
"BISA DIAM GAK, SIH?!" teriak Ana lantang, yang lain terdiam memandang ke sumber suara. Ana yang duduk paling depan, menghadap meja guru itupun berbalik badan menghadap teman-temannya.
"Kalau kalian nyerocos terus, ntar pak Anhar marah terus ngasih soal yang ribet-ribet plus banyak lagi, kalian mau?" ucap Ana sepelan mungkin berusaha agar pak Anhar tidak mendengar. Yang lain mengangguk membenarkan, mereka tidak ingin kejadian saat awal masuk kelas XII terulang lagi.
"Saya dari perwakilan kelas menyatakan telah siap untuk ulangan dadakan ini." ucap Bimo berwibawa. Pak Anhar mengangguk lalu membagikan kertas ulangan beserta kertas HVS kosong untuk mencari jawaban.
***
"Gila, soalnya susah banget! Ya gak?" tanya Chika ke teman-temannya saat mereka sudah duduk dikursi kantin menikmati siomay.
"Gak sih, biasa aja." jawab Ana cuek, yang lain berdecih sebal.
"Iya iya, lo yang paling pinter." komentar Erika sarkastis.
"Yes! Azka otw ke sini. Aduh ya ampun!" teriak Chika antusias, hubungan mereka sangatlah awet, dari kelas satu SMA sampai kelas tiga SMA. Bukan waktu yang lama.
Ana tersentak, kalau Azka ke sini, berarti Geo juga? Kenapa mendadak Ana jadi takut gini?
"Na, Ana. Lo kenapa tegang gitu, sih?" ucap Chika mendorong-dorong bahu Ana.
"Jangan bilang lo kerasukan arwah lagi?" tanya Friska curiga. Ana menggaruk tengkuknya, "Enggak kok, Enggak!" katanya.
"Hai, sayang!" sapa Azka saat sudah sampai dimeja yang berisikan Ana dan kawan-kawan.
"Hai, sini duduk." Chika pindah ke kursi yang disebelahnya, mempersilahkan Azka untuk duduk. Mau tak mau Ana pindak posisi menghadap Chika. Mereka semua, para MOST WANTED sudah duduk terkecuali Geo.
"Geo kemana, ya?" batin Ana.
Siomay Ana yang sudah habis pun, Geo tak kunjung datang. Mengapa rasanya Ana begitu kecewa? Apa mungkin Geo marah dan tidak mau berteman dengan Ana lagi? Ana membuka aplikasi whatsapp, apakah sebaiknya ia mengirimi Geo pesan? Ana menggeleng pelan, "Harus tau batas, Na."
KAMU SEDANG MEMBACA
RETISALYA
Teen FictionJatuh cinta membuat kita menjadi manusia paling bahagia di dunia. Jatuh cinta itu juga berarti kita harus siap menerima kebohongan dan pengkhianatan. Untuk kasus paling parahnya bisa jadi kehilangan. Entah itu kehilangan cinta atau kehilangan orangn...