"Gimana? Lo udah mendingan, Ver?" tanya Ana. Verra mengangguk pelan, "Ya gitu deh, Na."
"Oke oke, lo harus rajin minum obat biar cepet pulih, terus bisa sekolah lagi." ujar Ana dan membuat Verra menatapnya datar.
"Gue... Gue malu Na.." kata Verra pelan, Ana mengangguk paham, "Jangan dipikirin, pikirin aja kesehatan lo. Oh iya, gue balik dulu ya, udah sejam gue disini. Verra mengangguk.
Ana menatap Verra sekilas sebelum akhirnya beralih mengambil tas yang ada diatas kursi dan menyandangnya segera, " Tante, Ana balik dulu ya!" ujar Ana, mama Verra tersenyum sebagai jawaban.
***
"Assalammualaikum!!" salam Ana setelah ia masuk ke rumahnya.
"Waalaikumsallam."
"Eh?? MAMA?!!!" Ana berhambur memeluk mamanya yang entah kapan tiba, "Kok pulang gak ngabarin sih?" tanya Ana cemberut. Ara tersenyum melihat sikap anak bungsunya ini, "Emang pulang mesti kabarin dulu? Ini kan rumah mama sayang."
Ana menyengir, "Kan biasanya ngabarin."
Ara tersenyum, "Ayo duduk, mama udah masak makanan kesukaan adek sama abang."
Senyum Ana mengembang, "Mama masak nasi uduk??!!" pekik Ana girang. Ara mengangguk.
"Ayo ma, ayo!!" pekik Ana lagi.
"Eh, tunggu abang kamu pulang, baru makan sama-sama." ucap Ara.
"Oh iya, papa mana, ma?" tanya Ana mengedarkan pandangannya ke semua sudut.
"Papa lagi mandi diatas." ujar Ara.
"Assalamualaikum, abang pulang!!" teriak Revan dari balik pintu. Lalu ia masuk dan mendapati mama serta adeknya sudah duduk dimeja makan.
"Eh? Mama kok pulang?" tanya Revan bingung. Ara berdecak sebal, "Mama pulang bukannya disambut malah ditanyain kayak gitu."
Revan menggaruk tengkuknya, "Biasanya mama pulang hari senin sama kamis, kok tumben hari minggu?"
"Ya gapapa lah bang, mama kangen sama kalian." balas Ara.
"Eh ada apa ini, udah rame aja. Papa gak diajak ngobrol." celetuk papa yang hendak menuruni tangga dan berjalan mendekat ke meja makan.
"Papa!!" pekik Ana dan berhambur memeluk Papanya. Wildan membalas pelukan anaknya itu.
"Udah udah, makan yuk. Abang laper." celetuk Revan yang membuat Ana berdecak sebal. Abangnya memang tidak tau tata krama. Mereka berdua duduk di meja makan, menikmati nasi uduk bersama-sama, suara ketukan membuat makan mereka terhenti.
"Bukain pintu gih, dek." Suruh Wildan, Ana mengelap bibirnya dan beranjak dari tempat ia duduk.
Ana membuka pintu perlahan, seorang cewek tengah gelisah menunggu di depan pintu.
"Kak Dea? Kakak ngapain disini?" Tanya Ana heran.
Suapan terakhir Revan terhenti mendengar nama Dea keluar dari mulut adeknya, ia beranjak pergi dan menuju ke pintu depan. Tanpa disuruh Ana pun meninggalkan mereka berdua, akhir-akhir ini hubungan Dea dan Revan tidak berjalan dengan mulus.
Revan membawa Dea untuk duduk di teras rumah, sedari tadi Dea tampak gelisah, keringatnya bercucuran padahal malam ini sedang dingin.
"De, kamu kenapa? Kok gelisah gitu?" Tanya Revan, Dea menarik nafasnya dalam-dalam, menghembuskannya perlahan.
"Papa masuk rumah sakit, kata dokter papa mesti di operasi." Ucapnya dengan suara yang melemah.
"Papa kamu sakit apa?" Tanya Revan penasaran, pasalnya Dea jarang sekali menyinggung tentang orang tuanya.
"Batu ginjal." Tangisan kekasihnya itu perlahan turun, Ia tau Dea jarang sekali menangis, tapi kali ini melihat ia menangis membuat hati Revan perih. Tangisan itu... Tangisan kepedihan.
Revan mengelus pundak Dea, "Aku gak punya biaya untuk nebus biaya operasi. Aku udah kerja tapi uangnya masih belum cukup, padahal udah dua kerja aku pegang dalam sehari, tapi hasilnya tetap gak cukup. Uang tabungan habis untuk biaya berobat papa."
Revan tercengang, ini alasan dibalik Dea yang semakin hari jarang ngampus, yang semakin hari jarang menghubungi Revan, yang semakin hari jarang Revan temui bila Revan ke rumah Dea. Ternyata ini alasanya. Seketika hati Revan merasa teriris, bagaimana ia bisa tidak tau tentang kesusahan yang selama ini Dea alami?
"Kamu tenang aja, gaji aku bakal aku tabung untuk biaya operasi papa kamu, aku juga bakal minjam uang ke papa aku. Kamu gak perlu ganti, aku bakal usahain semuanya."
Dea memeluk Revan dan menumpahkan segalanya disana, hatinya tenang sekarang mengetahui kesusahan yang ia alami sudah ia bagi ke Revan yang dengan senang hati menerimanya.
Tanpa mereka berdua sadari, Wildan, Ara, dan Ana mendengar pembicaraan mereka dari balik pintu. Setelah mendengar itu mereka kembali ke meja makan, makan seperti semula. Beberapa menit setelah itu Revan masuk dan ikut duduk bersama mereka. Revan juga tampak gelisah.
"Kenapa, bang? Kok tiba-tiba gelisah?" tanya Wildan. Revan menghembuskan nafasnya, "Jadi gini ma, pa. " ucapannya terhenti, "Papa Dea masuk rumah sakit, katanya mau di operasi, dan biaya operasinya mahal. Dea--"
"Jadi kamu mau minjam uang sama papa?"
Revan mengangguk pelan, "Memangnya kamu sanggup ganti?"
Revan tampak terdiam. Sejujurnya ia takut bila uang itu tidak terganti nantinya, tapi ini demi papa Dea, Revan akan selalu siap.
"Papa bangga jadi kamu." Ucap Wildan sambil tersenyum, "Dulu papa pernah diposisi kamu, papa nolongin sahabat papa yang orang tuanya mesti di operasi dan biayanya mahal. Mau minjam sama orang tua papa, papa gak enak. Oleh karena itu papa ngejalani berbagai macam pekerjaan, akhirnya biaya operasi terbayar. Sahabat papa nangis sambil bilang makasih berkali-kali."
"Sebelum papa nikah, papa berbisnis sama orang lain, dia bawa kabur uang papa, padahal uang itu sebagai modal awal. Sahabat papa datang untuk ngebantuin papa. Dari situ papa sadar kalau nolongin orang itu gak sia-sia." Lanjutnya. Semua terdiam mendengar penuturan Wildan.
"Papa bakal ngasih abang uang untuk biaya operasi papanya Dea."
Seketika mata Revan berbinar, "Papa gak bohong, kan?"
Wildan menggeleng, "Tapi dengan satu syarat."
Ana tertawa kecil, ia tau ke arah mana pembicaraan papanya itu.
"Abang harus rajin kuliah, abang harus bisa nerusin bisnis papa." ucap papa terus terang. Revan tertawa, "Kalau itu Revan ngerti, pa. Revan gak bakal kecewain papa." ucapnya mengacungkan jempol.
Ara hanya tersenyum begitu juga Ana. Mereka berempat menghabisi sisa-sisa makanan sambil sesekali tertawa. Moment yang jarang dilakukan, tapi ketika moment itu datang, mereka menerimanya dengan sangat bahagia.
Let it go by with a flow.
KAMU SEDANG MEMBACA
RETISALYA
Teen FictionJatuh cinta membuat kita menjadi manusia paling bahagia di dunia. Jatuh cinta itu juga berarti kita harus siap menerima kebohongan dan pengkhianatan. Untuk kasus paling parahnya bisa jadi kehilangan. Entah itu kehilangan cinta atau kehilangan orangn...