Pencerahan

3.5K 78 0
                                    


Geo dan teman-temannya sedang duduk di kantin. Besok adalah pembagian raport, oleh karena itu mereka menghabiskan waktu sama-sama menjelang libur panjang.

"Woi, Do. Chika nanyain gue mulu, nih. Katanya lo kapan nembak si Erika? Katanya kemaren si Lousi nembak Erika, tapi dia masih mikir-mikir.

"Ha Lousi? Lousi yang anak kebumian itu, ya?" Tanya Ardo, Azka mengangguk. "Gue takut aja lo keduluan."

"Wah ini gak bisa dibiarin, nanti sepulang sekolah gue tembak dia!!"

"Bagus, bang. Aku suka semangatmu." Ucap Jeza antusias.

"Oh iya, Eja. Lo gimana sama Merlin?" Tanya Ardo, Merlin adalah pacar Jeza yang bersekolah di Semarang.

"Baik kok."

"Emang enak ya LDR? Gue maren nyoba sama anak Rembang, seminggu aja gak sampe." Jawab Wiga.

"Lo emang suka main-main, gak pernah serius!" Jawab Geo membalas perkataan Wiga.

"Eh, mirror ya, bang." Ucap Wiga tak terima.

"Fyi, gue lagi deket sama adek kelas. Bodynya mantep, boys." Ucap Wiga merasa bangga.

"Geo, lo gak mau cerita tentang Ana atau siapa gitu?" Tanya Azka agak penasaran.

"Gak."

"Dasar pelit!" Ucap Wiga jengah.

"Kemaren Geo nginep rumah gue." Ucap Ardo berterus terang. Azka tampak khawatir mendengar itu, "Lo gak diapa-apain kan, Do?"

Ardo tertunduk lesu sembari memegang kedua dadanya secara menyilang, "Tadi malam Geo tiba-tiba tidur dikasur gue, saat gue bangun—gue udah bertelanjang dada. Tolong jelasin wahai sahabat, apa gerangan Geo melakukan itu."

"Wah, gak bisa dibiarin, nih. Geo ternyata tukang cabul!" Ucap Jeza menggebu-gebu.

"Gini-gini, lo harus minta pertanggung-jawaban dari Geo." Final Wiga. Geo yang tengah menjadi perbincangan hanya menelungkupkan wajahnya malas.

"Apa Geo mau nikah sama gue? Gue takut dia gak bahagia." Ujar Ardo sedih, Wiga yang duduk disebelah Ardo—menepuk pundak sahabatnya itu.

"Geo..." panggil Ardo pelan, Geo menajamkan matanya ke arah Ardo, "Apa, anjir?"

"Mau gak kita urus anak ini sama-sama?" Ia memegangi perutnya, "Kalo lo gak sanggup, biar gue aja. Asal gue dapat belanja bulanan."

Geo melempar gulungan tisu ke arag Ardo, "Awas aja kalo sampe anak-anak dengar bualan lo, gue bunuh lo, Do!" Ancam Geo kepada Ardo, Ardo bergidik ngeri, ia tau Geo tidak pernah main-main dengan ucapannya.

"Sorry, Yoyo." Ardo membentuk jarinya menjadi peace—kemudian tersenyum sangat lebar.

"Yo, lo kalo ada masalah itu cerita sama kita-kita." Ucap Ardo, ia tidak tahan ingin mengucapkan kalimat itu sedari tadi. Sahabat-sahabatnya yang lain mengerutkan dahi bingung.

"What's his problem?" Tanya Jeza, Ardo mengedikkan bahu pertanda tak tau.

"Yo, dulu waktu masalah lo dengan Nada, lo gak cerita—sampai-sampai kita yang nyari tau sendiri. Pas nyokap lo meninggal, lo diam-diam aja gak kasih tau ke kita—sebelum akhirnya kita tau sendiri. Dan sekarang, lo gak cerita lagi? Mau lo apasih? Lo kenapa jadi bestfriend gak pernah jujur?" Rentetan pertanyaan dilontarkan oleh Azka. Geo masih diam memandang sahabat-sahabatnya.

"Lo itu punya kita, kita itu udah lama sahabatan. Kalo lo ada masalah cerita sama kita, insya Allah kita bisa bantu." Tambah Jeza.

Geo masih diam, menyimak penuturan mereka.

"Lo nganggap kita apasih? Orang asing? Segitu gak berharganya kita dimata lo?" Ucap Wiga kesal.

"Gak semua masalah bisa diceritain." Ucapan Geo membuat Ardo tertawa pelan, "Masalah kalo gak diceritain gak akan pernah nemuin titik ujung."

"Emang gue harus ya ceritain masalah gue ke kalian?" Tanyanya remeh.

"Ya gak juga, setidaknya lo mempercayai kita sebagai sahabat lo."

"Gue gak pernah percaya sama orang lain, terutama kalian. Orang yang paling gue sayang berpotensi besar buat khianatin gue." Ucapnya membela diri.

Ardo mengecek ponselnya yang berbunyi, ternyata sang ketos menyuruh anak OSIS untuk berkumpul.

"Eja, anak OSIS disuruh kumpul, nih." Jeza bangkit berbarengan dengan Ardo. Lalu mereka berdua pergi tanpa pamit.

"Iga, temenin gue ke tempat Chika, yuk." Wiga mengangguk dan berdiri, mereka berdua meninggalkan Geo tanpa berpamitan terlebih dahulu.

Geo memandangi kepergian mereka, sejujurnya Geo sedih, sedih sahabat-sahabatnya seperti kecewa terhadap dirinya.

Geo ikut bangkit, tujuannya kali ini ingin ke taman belakang sekolah. Taman yang seperti rumah baginya.

——

"Halo, Na. Temuin aku sekarang di taman belakang sekolah."

Geo memutus sambungan telepon, menyenderkan kepalanya di batang pohon dan memejamkan mata.

Lima menit kemudian Ana datang dan duduk disebelah Geo—menyenderkan kepalanya percis seperti yang Geo lakukan.

"Ada masalah, ya?" Tanya Ana to the point. Geo mengangguk, "Tapi aku gak bisa cerita." Kata Geo.

"Gapapa, mungkin kamu butuh waktu." Ana mengelus rambut Geo dari samping.

"Na, kamu pernah nyesel gak pacaran sama aku?" Tanya Geo terus terang, Ana melirik Geo dari samping. Apa yang cowok itu pikirkan?

"Baru juga beberapa hari kita pacaran, ya nyesalnya belum kerasa, lah." Jawab Ana sambil tertawa, Geo juga ikut tertawa.

"Ketawa kamu manis, Na." Geo mencubit pipi Ana pelan, semburat merah terlihat jelas dipipinya pertanda bahwa ia salah tingkah.

"Azka bilang sama aku, katanya kamu tuh gak pernah jujur sama dia, dia nyuruh aku buat maksa kamu jujur."

Geo terdiam, "Salah ya, Na, kalo aku gak jujur sama sahabat aku sendiri?"

Ana tampak berpikir sebentar, "Tergantung, sih. Kalau kamu belum sanggup cerita, itu wajar. Tapi sebaiknya kamu cerita sama sahabat kamu, mereka nanti berpikir bahwa mereka gak berguna buat kamu."

"Maksudnya?" Tanya Geo bingung, "Jangan bikin sahabat kamu merasa bahwa mereka gak berguna buat kamu. Serumit apapun masalah kamu, kamu harus cerita, Yo. Kamu bisa jadi tenang saat kamu ceritain semuanya ke orang yang bisa kamu percaya."

Geo terdiam. Lalu Ana melanjutkan, "Sahabat yang paling baik adalah mereka ada disaat kamu butuh. Mereka selalu siap menjadi tempat untuk kamu cerita. Sahabat yang kayak gitu harus dipertahanin."

"Mendengar ceramah kamu, aku merasa harus cerita ke kamu, Na."

"Jangan ke aku, prioritasin sahabat kamu dulu. Udah sana, temuin sahabat-sahabat kamu!"

Geo mengangguk lalu ia beranjak disusul Ana. "Yuk, Na." Ajak Geo, Ana menggeleng, "Kamu aja. Aku mau langsung ke kelas.

Geo mengangguk, "aku duluan, kamu hati-hati, ya."

"Gue seneng lihat lo tertawa dan tersenyum, Yo. Tetap terus kayak gitu, ya." Ana melangkah meninggalkan taman. Senang rasanya bisa memberi pencerahan ke orang lain.

Chika tampak menunggu Ana, saat ia melihat Ana, ia melambaikan tangan dengan heboh.

"Gimana? Geo udah mau jujur?" Tanya Chika. "Udah, dia mau nemuin sahabat-sahabatnya. Masuk dulu, kuy."

Chika mengangguk dan ia berjalan beriringan dengan Ana, "Lo memang bisa diandalkan, Na." Ana tersenyum tipis.

RETISALYATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang