Antara Cello dan Pertemanan

76 6 0
                                    

Aku membulatkan kalender dalam-dalam, mencoreng setiap hari yang kulewati hingga nantinya sampai pada hari itu. Dalam hidupku, belum pernah aku merasa setegar ini, menunggu detik-detik yang menyiksa hingga penantian ini akhirnya berakhir.

Sebentar-sebentar aku sudah melirik benda besar berbobot lumayan di ujung kamar. Benda itu selalu ada disana, terkadang seolah menatapku curiga. Curiga soal apa? Takut aku tak akan pernah menyentuhnya lagi? Memainkannya lagi?

Berhenti bermain cello itu mustahil.

Hal pertama yang kulihat dari cello adalah bobotnya. Terlalu besar dan tidak begitu keren. Beda dengan biola yang kalau dimainkan langsung membuat orangnya tampak gagah, piano yang membuat pemainnya tampak classic, cello hanya membuat yang bertubuh pendek makin kelihatan kecil dan yang terlalu tinggi jadi kesusahan.

Tapi aku ingat, bagaimana kali pertama aku jatuh cinta pada benda yang syarat dengan nilai klasik tersebut.

Telepon genggamku berbunyi. Sebuah panggilan masuk dari Will, teman sekelasku yang memiliki bakat lebih dalam memainkan lagu-lagu Bach, sekaligus merupakan fans berat Yo-Yo Ma.

"Halo? Ya? Terdengar menyenangkan. Aku tahu. Tidak, tentu saja aku tidak bisa ikut. Penampilan susulanku dimulai besok pagi"

-----

Gedung Juliard cocok dijadikan lokasi syuting karna mirip gedung-gedung di filmnya James Bond. Bernuansa London yang kental dengan kesan membosankan, kuno. Itu yang dikatakan orang-orang.

Hari ini aku pergi ke dalam sekolahku, bersama beberapa murid yang harus menyelesaikan masalah yang disebabkan orang lain. Sialan, bukan? Tentu saja. Ini hari libur. Siapa yang sudi menghadapi guru penguji di hari libur.

Nomor urutku 1. Karna mereka pikir aku satu-satunya murid yang bermasalah. Kenyataan itu mendadak membuatku sakit hati, mengingat setelahku ternyata tidak ada nomor urut lain. Belum lagi di persimpangan pintu, sebelum aku dan murid-murid lainnya masuk, yang kulihat sejauh mata memandang hanyalah 'para pengacau', yang disebut-sebut harusnya sudah di-DO kalau-kalau banyak murid yang cepu, bersedia menjadi Teacher's Pet, mengadukan mereka.

Rasanya biasa saja bagi orang lain untuk masuk sekolah di hari libur, tapi ini aku. Harry Styles kesayangan guru-guru, yang rasanya sampai mati bakal malu mengingat hari ini.

Aku hadir 15 menit lebih awal dari jadwal. Aku merasa telah memenangkan peperangan dengan waktu. Sebentar lagi aku mesti berperang melawan guru penguji, membawa senar sebagai senapan dan cello, jelmaan tameng bajaku.

Karna aku tahu perang ini belum usai meski hari ini telah selesai.

----

Ujian terdiri dari beberapa bagian. Tiap kelas memiliki pengujinya masing-masing. Aku kebagian kelas cello, tentu saja. Alat musik ini menyanggaku melalui tiap kelas. Ujian dilakukan diatas panggung tiap kelas, satu per satu murid maju di hadapan wajah-wajah keras yang tua. Para penguji itu, yang bakalan teriak keras-keras kalau kami tidak mengikuti partirur musik.

Aku menarik napas panjang. Namaku dibawah nama seseorang yang sekarang kubenci setengah hidup dan mati. Nama Will jauh di bawahnya lagi. Memiliki nama depan dengan huruf awal makin jauh dari A terkadang menguntungkan. Will masih dapat berlatih beberapa saat sebelum ke depan, ketika aku memasuki kelas, ia bahkan tidak menyadariku.

Musuhku keluar dari kelas dengan wajah luar biasa murung. Ia meninggalkan para penguji berkomentar pedas di belakangnya.

Kukencangkan pegangan pada senar, kuatur posisi dudukku. Cello tidak boleh dimainkan dengan sempurna menghadap ke depan. Kumiringkan alat musikku sedikit, tanganku tergapai seolah memeluknya, lalu para penguji tua itu hilang. Yang ada hanya aku dan cello-ku, bahkan mungkin partirur musik juga tak berlaku lagi.

Kuselesaikan penampilanku. Membuka mata dengan sedikit harapan menemukan senyum para penguji disana. Tapi tidak juga. Percuma aku berharap. Mereka hanya akan menjadi ramah kalau-kalau suatu saat nanti aku telah melampaui Bach!

Keluar dari ruang kelas, Will merangkulku. Singkat saja, tapi aku tahu ia terpesona penampilanku. Kabar baiknya, bukan hanya dia. Lorong itu dipenuhi murid lain yang, walaupun iri, mereka menyembunyikannya dibalik tepuk tangannya.

Aku menunggu hingga Will keluar dari ruangan itu. Kumasukkan 'biola' raksasaku kedalam tempatnya. Seolah membawa bongkahan batu, punggungku terasa sangat berat. Will bilang ia mengendus sebuah keadaan tak meyakinkan soal ujian tadi. Takut nilainya jeblok, ia malah terus mengoceh soal keyakinannya yang tak henti-henti tentang para penguji yang menyeramkan.

Kubenci Will ketika mulutnya tak jua berhenti, tapi namanya juga teman, jadi kudengarkan saja. Ketika ia sudah kelewatan dan tidak mau bungkam, aku menariknya ke King's, yang secara sah dinobatkan menjadi tempat nongkrong geng kami, tempat memesan burger lengkap dengan saos semau kami.

Bicara soal geng, Quentin adalah ketuanya. Merupakan salah satu anak-kurang-berbakat di Juliard, terlempar ke sekolah ini hanya karna ayahnya pemimpin sebuah orkestra terkenal. Ia masuk kelas biola, dan pernah dikurung di rumah hanya karna kegandrungan main bulu tangkis dan tangan kanannya--si ksatria penggenggam senar--keseleo.

Tak ada yang menobatkan Quentin, tapi mungkin karna dia yang paling tua, merupakan kakak kelas, dan mungkin karna ia yang awalnya mengajak adik-adik kelasnya ini untuk nongkrong bareng, jadi ia memiliki kekuasaan.

"Kenapa tidak nongkrong dengan kawan sekelasmu, Quen?" aku pernah bertanya suatu kali. Ia mengambil kentangnya, mengerutkan kening, menumbuk kentang itu pada saos, bernada sinis tapi aku tahu ia bercanda. "Memangnya kenapa? Kalau aku nongkrong dnegan kalian?"

Lebih tepatnya, duhai kakak kelasku yang aneh, kami yang nongkrong denganmu. "Tidak masalah. Malah seru. Tapi ada apa dengan teman-temanmu?"

Ia mendekatkan mulutnya pada telingaku sehingga aku dapat menghirup napasnya yang bau dan panas itu. "Terkadang, orang yang kita kira teman hanyalah seonggok bullshit tak menentu yang lebih bau dari bau mulutku"

Aku tidak mengerti, sungguh. Tapi karna dia adalah Quentin, karna dia ketua dan yang selalu menraktirku, kuiyakan saja.

Namun, aku tidak tahu bahwa sebulan kemudian aku akan mengerti, sungguh.

BRL

The MemoirWhere stories live. Discover now