Gedung itu menyumpal mulutku dengan kemegahannya. Seperti yang kukatakan sejak awal, kekunoan bahkan memiliki tempatnya tersendiri di New York. Apik sekali arsitektur Carniage Hall mengubah kekunoan ini menjadi kemegahan.
Aku sudah berpakaian sangat-sangat resmi sampai-sampai aku lebih terlihat seperti bodyguard-nya Rihanna dibanding orang yang mau manggung. Mom menyadari kekakuan tampilanku, lantas mengambil sejumput bunga dari bucket indah di tangan Fitz, lalu membelah tangkainya seperti mematahkan tulang. Menaruh bunag itu di saku dekat dasiku.
Kulonggarkan dasi ketika jam menunjuk pukul 06.00, berangsur-angsur sikapku melunak ketika melihat anggota orkestra lain memasuki gedung Carniage. Diantara mereka berdiri lelaki paruh baya yang nyaris membuatku menjerit seperti fangirl..
Apa, dia bakal menjadi komposer? Bakal menjadi komposer?
Tentunya komposer buat orkestra yang sekarang sudah hilang ditelan pintu Carniage Hall itu. Aku bakal bermain solo, siapa yang mau repot-repot ikutan ke panggungku kalau begitu. Tapi orang-orang tampak tidak histeris melihat ewdb.
Bagaimanapun juga ini New York. Tempat orang-orang bakal melirikmu sekilas ketika tahu kau adalah artis. Mereka bakal mengintip seolah tak peduli dari balik kacamata 300 dollarnya, mendengus lalu sibuk kembali dan menaiki limosin yang lebih keren dari kepunyaan artis selevelmu. Kalau ada yang mengejarmu, berarti mereka wartawan atau paparazzi yang kepengin menyambar foto dan beritamu dengan liar, bukannya repot-repot minta foto bareng apalagi tanda tangan. Mereka tidak membutuhkan semua itu.
Penampilanku adalah penutupan. Orkestra itu beserta komposer kesayangan mereka mengalunkan nada yang bakal membuat bahumu bergetar atau paling tidak, merinding. Berkali-kali aku melirik arloji perak pemberian Dad, berusaha mengulur waktu dengan memikirkan hal-hal menyenangkan. King's. Orlando. London. Jess. Jess. Nah, itu yang paling membuatku bahagia. Tapi, bisakah aku menemukan letak menyenangkan dari memikirkan dirinya?
Dia selalu hadir di seluruh resitalku bersama Ben. Kami mulai main dari acara-acara kampus, sekolah musik sampai acara resmi dan Jess tak melewatkan satu pun kesempatan itu. Ini adalah resital solo-ku yang pertama. Duo virtuoso mungkin menarik perhatian cewek itu, tapi solo virtuoso?
Solo dan mengingatkannya pada Ben. Jangan bermimpi ia sudi datang. Aku tidak tahu berapa persen dalam hatinya yang telah menarik bencinya padaku keluar.
-----
Aku merasa hitungan mundur berdenting seperti bom waktu. Lahirlah hari baru dimana aku bakal berangkat ke New York. Mau tidak mau, bagaimana keras pun aku menghindarinya, dia bakal ada di halaman bersama sekeluarga Thornme untuk melepasku.
Oh, aku lupa. Sindirku pada diri sendiri. Dia kan sudah melepasku malam itu, di tengah jalan.
Dan Jess benar-benar menguasai dirinya untuk memeluk Mom-ku dengan tenang, mencengkram bahu Fitz ketika kedua cewek itu saling mengucap salam yang melepas mereka untuk beberapa tahun, mungkin selamanya. Tinggal diriku. Aku memuji kehebatannya berjalan setenang angin, seolah-olah ia layak melayang diatas awan. Menghampiriku dengan senyum tipis, senyum yang tidak bakal ia berikan pada orang lain selainku. Ada aturan tak tertulis ketika kau dicap 'ramah': senyuman tipis adalah hal yang tak mungkin, Jess biasa tersenyum hingga nyengir lebar sekali.
Lalu, ia menjabat tanganku. Aku benar-benar hancur menyadari getaran hatiku detik itu.
Aku sadar betapa aku menikmati matanya yang bergerak-gerik ketika berbicara, mulutnya yang heboh tanpa air liur ketika berteriak. Tawanya adalah musik tak terkisahkan yang nada-nada cello—sebagai lantunan yang paling dekat dengan hati manusia—pun tak mungkin menyamainya. Ketika ia berjalan dan masuk kehidupanku, musim panas dan gugur bercampur jadi satu dan aku merasakan kehangatan mengaliri tubuhku. Betapa desiran hatiku ketika mata kami bertemu adalah guncangan dahsyat dibanding gempa bumi sekalipun. Betapa ia tampak manis kalau menyesap kopi panas pelan-pelan. Betapa dahinya yang berkerut lebih menyerupai ombak dibanding sekadar kerutan. Tawanya lebih dari sekadar tawa. Nafasnya lebih dari sekadar nafas. Uap dari mulutnya ketika musim dingin tiba. Lebih nikmat dibanding uap rokok atau rasa shisha yang biasa imigran India konsumsi di London. Betapa lambaian tangannya mengajakku untuk hanyut ke dalam dunia yang ia kenal. Betapa tangannya hangat kalau menarik bahuku ketika aku menggunakan handphone sambil menyebrang. Ia menyelamatkan hidupku waktu itu, dan setelah-setelahnya.
YOU ARE READING
The Memoir
FanfictionTuan Styles muda, begitu ia dijuluki, tahu dua hal tentang masa lalu: kita tidak pernah tahu seberapa jauh kenangan boleh terulang, pun tak dapat menebak sejauh apa mereka akan datang dengan sendirinya. Trauma hebat dengan kematian saudaranya, Harry...