Berharap dan Terus Berharap

15 1 0
                                    

"Zankie Hall" William mengulang-ulang tempat itu. Seolah-olah aku tak pernah serius menanggapinya sehingga ia harus melakukan sesuatu untuk membujukku.

"Ya, aku tahu"

"Apa kau menganggap ini serius?"

"Tentu saja. Maksudku, siapa yang tidak?"

"Ada apa dengan wajah seriusmu yang tadi?"

"Kenapa memangnya?"

"Sekarang berubah" ia menyendok salad. Salad untuk makan malam. Khas William sekali. "Wajah seriusmu hilang dan kau jauh lebih santai"

"Oh ya, itu karna sekarang aku menerima gagasanmu soal Zankie Hall yang tadinya membuat perutku seperti orang yang hendak mengkudeta"

"Perutmu dikudeta?" nadanya serius. Cukup serius untuk membuatku ngakak.

"Tidak ada yang mengkudeta perutku"

William berkata, sama seriusnya seperti tadi. "Opsi 'mengkudeta perutmu' pernah dibicarakan, kau tahu"

"Oh ya?" aku terkekeh sendiri.

"Ben dan aku. Kita berdua gemas melihat kerjaanmu makan terus tanpa mau mencuci piring apalagi memasak makanan"

"Setidaknya aku tidak gendut"

"Ya, malah kelewat kurus! Itu artinya kami berhasil mengkudeta perutmu"

Aku tidak suka membicarakan Ben, tapi kalau membicarakan bagaimana dia ketika hidup, itu merupakan bagian dari terapiku. Bagian dari luapanku. William adalah satu-satunya anggota keluarga yang, sekali pun tidak pernah, berbicara seolah Ben tak ada diantara kita. Seolah Bentidak pernah keluar malam itu lalu meneleponku lalu menutup salurannya lalu mengeluarkan kunci mobil lalu masuk dan menutup pintu lalu berkendara lalu BUM! Aku tidak mau mengingat-ingat kelanjutannya.

Kecuali karna hadirnya Jess hari ini, aku tidak mau mengingat-ingat kelanjutannya.

-----

Aku cukup yakin bahwa King's adalah tempat paling baik untuk nongkrong dengan harga miring, makanya aku tidak pernah mau ganti tempat tongkrongan sekalipun. Lagipula Quentin tak akan mau berganti arah. Dan siapa pula aku untuk mengkudeta keputusan Raja Quentin?

Sampai disana, hanya ada Liam dan Quentin, yang seirng kunobatkan sebagai petinggi BAND karna tidak pernah membolos nongkrong. Sesungguhnya kami tidak hanya nongkrong. Kami membicarakan PR dan kadang juga mengobrol tentang hal buruk yang terjadi di daerah A dan B, seperti kejahatan-kejahatan yang terjadi di New York dan bagaimana cara mengatasinya. Kadang kala kami cukup dewasa untuk menjadi sosiolog, psikolog bahkan petugas forensik.

Setidaknya, pembicaraan kami cukup berbobot karna Quentin—lagi-lagi Quentin—merasa ialah kakak kelas dan harus mengajarkan yang baik-baik kepada adik-adiknya. Dia tidak mau membuang-buang waktu. Waktu nongkrong kami biasanya hanya setengah jam sehari, tapi cukup membuatku puas karna kalau setiap dari kami memiliki masalah, kami bisa menceritakannya dengan bebas tanpa dikritik. Kadang anggota BAND juga punya solusi yang lumayan.

Jadi, Liam berkata aku bagaikan pengkhianat. "Kau tidak menceritakan masalahmu sejak awal. Baru bercerita ketika hendak ke Orlando. Kita ini tim, man. Memang tak ada perjanjian tertulis, tapi kalau kau punya masalah, ceritakan pada teman-temanmu ini" lalu mereka berdua terkekeh.

"Oke, jadi sekarang kalian menyebutku pengkhianat" aku ikut-ikutan tersenyum. "Kalian tahu, hanya saja, ketika hal seperti ini menimpamu, mengingat-ngingatnya saja malas. Apalagi menceritakannya" sebenarnya, aku takut terkesan menyalahkan Will.

"Tenang saja. Kita sebenarnya mengerti kok, bro" Liam menggigit ckicken wrap. Menu yang agak mahal dibanding biasa, kentang goreng tanpa bumbu yang murahan abis.

Quentin terus mengoceh tentang betapa brengseknya T, betapa ia ingin meninju orang itu habis-habisan dan betapa sesungguhnya, sudah banyak hal yang membuatnya membenci T dari dulu. Liam juga berkata hal yang sama. Pendapatku juga sama, maksudku aku membencinya dari dulu tapi berusaha sabar karna menurutku itulah jalan terbaik untuk mengajarinya, untuk merubahnya.

Mata Liam menyipit dan ia menangkap sesuatu di balik bahuku. Tatapannya beringas dan penuh kebencian. Quentin tersenyum miring, mengejek, yang membuatku tambah penasaran. Tanpa buang-buang waktu segera aku melihat di balik bahuku dan menemukan Martin, Edmund, Will—dan T.

Mereka setim mengurus projek yang tadi diumumkan di kelas, lewat pengeras suara. Satu tim mesti terdiri dari 5 orang, projek untuk ajaran tahun depan. Dan aku dipastikan tidak akan sekelas tahun depan. Pengeras suara membuatku makin malu saja.

Satu meja kosong tak bernoda di sebelah meja kami. Martin dan Edmund menyapaku. Will tidak ketinggalan, tapi dia lebih masa bodoh karna sibuk mengobrol soal hubungan dalam nada-nada Bach dengan Dvorak. Siapa lagi kalau bukan dengan T.

Lalu Edmund dan Martin pergi memesan makanan. Tinggal dua orang itu. Liam mengepalkan tangannya lalu melirikku. Aku sempat melihatnya mengedipkan mata, sebelum bangkit ke meja sebelah dengan percaya diri tingkat atas.

"Hei, Will"

Will tertawa. Berkata hey balik.

"Tahu tidak? Ada orang yang meng-hack nilai kawan baikku dan menukarnya dengan nilainya yang amit-amit, yang bahkan kotoran anjing pun tidak menyamainya. Gila, kan? Sinting memang!"

Aku menoleh ke arah yang berlawanan, Quentin juga, lalu kami tertawa lirih bersama-sama. Masalahnya: 1. T brengsek ada disana, 2. Will tertawa, 3. Pembelaan Liam lucu juga. Will tetap tertawa hingga lelucon selesai.

Aku merasa dunia ini mulai adil.

Malamnya rumahku kedapatan undangan agak resmi dari Carniege Hall. Mom yang menerima surat itu. Ia menyebutnya surat teraneh yang pernah ada. "Karna diantarnya malam-malam, tukang pos mana yang mau lembur"

Aku meraih amplopnya dan menyelipkannya di saku potongan celana boxer-ku. Kakiku menderu ketika segera kularikan diri ke kamar dan menghempaskan diri di kasur hijau, seolah terdampar di tengah hutan. Aku bernapas. Dapat kurasakan urat nadiku menegang. Kupencet urat jugular di leher, menatap jam dan menghitung detiknya perlahan. Hasilnya: degup jantung tidak normal.

Kusobek pinggiran amplopnya yang tersegel lem pekat, hati-hati membawa sobekan itu hingga ke tengah amplop. Ini bisa jadi penentu segalanya. Bukan, tapi ini memang penentu segalanya.

Lalu aku merasakan tonjokan di perutku ketika menyadari kata YA yang ditulis dengan panjang oleh Carniage Hall yang kira-kira begini: Merupakan suatu kehormatan bagi Carniage Hall untuk mengadakan resital dari virtuoso berbakat yang sering tampil di Zankie Hall...

Satu-satunya hal yang terpikir olehku adalah mengumumkan beirta ini ke seluruh dunia. Tapi awalnya, tidak dulu. Aku ingin ini menjadi kejutan. Lagipula kakiku masih bergetar hingga lututku tidak kuat menopang tubuh. Aku hanya meraih telepon genggamku dan berpikir siapa yang dapat kuhubungi.

Jess.

Entahlah. Dulu, kami sering melakukannya. Dia yang menelepon terlebih dahulu. Lalu aku bakal mengomel sewot, mengungkit jarak rumah kami yang tak sampai 4 meter, kenapa pula harus menelepon.

Setelah dia pergi—atau aku yang pergi, entahlah—aku sering menekan nomornya yang kuingat di luar kepala, di atas layar hanya untuk menghapusnya kemudian karna aku tahu tak memiliki kemewahan itu lagi. Walaupun kami sudah berbicara kemarin, aku tidak benar-benar yakin seberapa jauh masa lalu kami boleh terulang kembali.

Tapi, persetan dengan itu karna: 1. Aku sedang bahagia, 2. Ini modus paling masuk akal sedunia, 3. Mana mungkin Jess tidak mau mendengar berita itu, 4. Carniage Hall, by the way, ini Carniage Hall. Pamerkanlah ke seantero dunia.

Aku hanya mengirimnya sms. Pada akhirnya, kukirim sms pada semua—nyaris semua—kontakku. Reaksi orang berbeda-beda. Liam merupakan satu-satunya yang memuji kakakku, dan bukannya aku. Will mengeluarkan emoticon andalannya, Quentin mengucap selamat, dan meskipun aku merasa sedikit sentimel dan egois karna tidak terlalu mempedulikan reaksi kawan-kawanku, aku benar-benar sedang menunggu yang satu itu membalas.

Dan ia tidak membalasnya.

t:150%; @&O

The MemoirWhere stories live. Discover now