Ketika pergi ke sekolah hari itu, aku tidak mendapati diriku sesemangat yang dulu lagi. Mom yang menyetir. Ia hendak pergi ke rumah kakakku untuk menjenguk William--bukan Will temanku itu, oke--dan istrinya. Cello-ku ditaruh di belakang, di bagasi mobil seperti barang rongsokan. Mungkin juga aku sudah menganggapnya begitu.
Ujian memang sudah usai, tapi musim panas belum menyapa. Sekolahku yang kelewat rjain menyediakan waktu tambahan, kelas yang diisi banyak latihan. Bukan sejenis summer school, karna summer school bakal diadakan lain waktu. Kelas tambahan isi WAJIB diikuti setiap murid, itu berita buruknya. Tapi King's juga tetap buka, itu berita baiknya.
Quentin menyebut tongkrongan kami BAND. Entah dia kekurangan ide atau apa, tapi semua langsung menyetujuinya. Padahal kami terdiri dari jejeran musisi klasik dan bukan BAND, itu jelas. Tapi siapa peduli.
Aku terlalu bersemangat mengikuti kelas, karna aku tahu inilah terakhir kalinya aku dapat berkumpul bersama teman-teman sekelasku. Tahun ajaran depan, aku akan di kelas yang sama dan mereka pindah kelas.
Tapi hari itu lumayan berat buatku, terutama karna adanya si T. Jangan kira aku tidak melakukan pembelaan. Aku sudha melakukannya, dari berbicara dengan T langsung sampai bicara dengan guru. Tak ada yang membelaku.
Dadaku begitu sakit ketika T masuk kelas. Aku bahkan berfantasi konyol bahwa aku ini binatang jalang yang langsung menerkamnya, memisahkan sekian banyak organ tubuhnya dari sekian banyak organ tubuhnya yang lain.
Tempat duduk T di sebelah Will, jaid aku bersyukur karna dipisahkan jarak walau oleh satu murid. Guru menyediakan waktu bagi kami untuk menentukan lagu, jadi aku berdiskusi dengan Will. Aku penggemar berat koleksi Rachmaninoff, tapi sejak kemarin, aku jadi merasakan sorrow—kesedihan—tiap kali menggesek senar di depan partirur Rachmaninoff.
Aku menyalin beberapa catatan dari seorang murid bernama Radar, ketika T disana mencoba mencari perhatian Will. Aku menempelkan satu jari di urat jugular leher, merasakan detaknya bukan hanya di alam mimpiku.
Kenapa? Aku merasa kesal pada Will, tapi sekarang berganti kecewa. Sudah berhari-hari belakangan sejak T menukar nilainya dengan nilaiku, aku tidak lagi di samping T untuk mengobrol. Maksudku, dia memang membosankan dan segalanya jadi tak ada yang mau—istilahnya—nongkrong di kelas dengannya. Kecuali aku, selama ini, ya.
Tapi minggu lalu aku melihat T memperhatikan saat Will membuka loker kemudian berlembar-lembar kertas jatuh ke lantai. Ia sibuk memungutnya selagi T menaruh perhatian pada pintu loker Will. Seribua satu hal tentang Bach Will tempel disana, bisa jadi mading paling lengkap mengenai Bach.
Dan sekarang aku mendengar T mengobrol seru mengenai Bach kepada Will. Aku tahu T juga suka Bach, tapi tidak terlalu. Dan sekarang ia berbicara serius sekali hingga pita suaranya seolah berpindah di mulutnya. Kemudian aku menyadari bahwa, ketika tidak ada lagi yang menerimanya, T pasti menyamping dan mencari mangsa lain.
Kasihan juga, untuk ditemani harus bergantung pada satu hal. Pada topik. Jadi aku benar-benar tidak mempedulikan mereka selama beberapa saat, hanya aku dan cello-ku dan partirurku dan..
"Harry Styles"
Sekarang namaku dipanggil dan aku menunduk untuk memperhatikan lantai marmer yang menghiasi tangga beranak 3, sampai di atas panggung berkarpet merah beludru yang mendapat sentuhan vacum cleaner tiap pagi.
Aku agak depresi soal T, tapi kulenyapkan bayangan itu sebelum melirik Sir Ernesto. Tapi pandanganku menangkap punggung Will, menjauh, lenyap ketika menyelinap ke balik pintu. Tawanya terdengar ketika ia membuntuti T.

YOU ARE READING
The Memoir
FanfictionTuan Styles muda, begitu ia dijuluki, tahu dua hal tentang masa lalu: kita tidak pernah tahu seberapa jauh kenangan boleh terulang, pun tak dapat menebak sejauh apa mereka akan datang dengan sendirinya. Trauma hebat dengan kematian saudaranya, Harry...