Waktu itu orangtuaku sedang pergi dan Jess melancarkan aksinya bersama Fitz. Adikku yang memulai, beralasan di rumah hanya ada dia dan aku. Kemudian ia mengoceh tentang betapa aku terlalu membosankan untuk diajak mengobrol sehingga ia butuh seorang 'kakak' dengan jenis kelamin lain. Jadi, Jess datang sebagai anak ke-5 keluargaku.
Mereka berdua melakukan banyak hal di kamar Fitz, tertawa-tawa hingga mendengar tawa mereka merupakan keasyikan itu sendiri. Aku membayangkan wajah Jess, kedua sisi mulutnya membentuk senyum terindah dalam alam bawah sadarku, lalu tertawa. Suaranya lembut, tapi agak melengking di akhir, ketika sadar suaranya terlalu keras, ia bakal menutup mulutnya dan mengecilkan tawa. Selalu menjaga sikap sehingga tawa itu makin meredam. Kemewahannya tertutup. Tidak mengapa, karna mengetahui ia menjaga sikap juga merupakan sebagian dari keasyikan tersebut.
Kemudian ia keluar dari kamarnya sambil menenteng seperangkat CD. "Ini koleksiku. Kita baru mau nonton VCD yang waktu itu kita beli buat Fitzy. Mau ikut?"
Aku langsung melompat lewat pintu kamarku yang terbuka sedikit. Gerakan yang terlalu menunjukkan semangat. Kami mengambil makanan di kulkas dan menggerusuk di sofa. Sofaku VIP, pribadi. Karna mereka cewek dan mereka butuh space buat dua orang, mereka duduk di sofa panjang.
Filmnya keren, tapi pilihanku bukan genre Fitz. Adikku di sebelah Jess, tertidursaat Leo D'Caprio belum sempat bangun dari mimpinya. Inception.
Aku memuji film itu, dan bagaimana rupa Leonardo menyerupai wajah aktor yang pernah kulihat di opera sabun, berbicara mengenai ide film itu yang beda dari biasa, ketika Jess mendesis dan menyuruhku diam. Aku menatapnya tapi ia tidak menatapku. Aku baru sadar selama bertetangga, aku kenal betul ia merupakan sosok yang ramah dan tak ayal lagi, wajah jutek adalah hal mustahil baginya.
Lalu kenapa ia selalu menatapku seolah aku ini musuh?
"Aku tahu kau marah dan bukan karna film ini" aku berujar. Ia langsung beringsut, pura-pura mengemasi barangnya dan tetap diam. Aku benci seseorang ketika meninggalkan masalah tanpa dibicarakan.
"Aku tahu kau marah padaku. Kau selalu begitu. Jadi, mengapa tidak kau teriakkan saja sekalian?" ujarku, agak mencela, agak memaksa. Tapi aku tahu pasti aku tidak benar-benar mengatakannya. Dalam fantasiku, ia tidak selalu marah padaku. Aku hanya melontarkannya dalam usahaku membujuk.
Tak kusangka fantasiku tetaplah fantasi. Dan ia mulai menangis, jauh dari yang kukira. Kukira ia berbeda dari cewek umumnya, tapi aku belajar satu hal. Cewek garang sekalipun bakal tetap sedih dicela oleh laki-laki.
Aku merasa seperti orang paling brengsek sedunia dan langsung mendekat serta tidak tahu harus melakukan apa. Jess menatapku dengan tatapannya yang biasa, dan fantasiku terbukti semata hanya fantasi. "Aku membencimu. Kau benar. Aku selalu membencimu"
Kehilangan dan rasa sakit di dadaku menyerempet hingga ke mata. Aku nyaris berkaca-kaca kalau tidak sedang memfokuskan diri pada Jess.
Tapi ia tidak berkutik sehingga konsentrasiku buyar. "Kenapa?" aku berhasil mengeluarkannya.
"Kau tahu, ketika seseorang tertimpa musibah, yang paling baik adalah menjauhkannya dari segala hal yang mengingatkannya akan musibah itu" lalu ia mencantolkan tas di punggungnya dan bersikeras melewati ruang tamu untuk keluar rumahku.
Aku membuntutinya karna tidak benar-benar mengerti.
"Apa maksudmu?"
Aku berhasil membuatnya berhenti. Sedetik lagi ia bakal melompati pagar dan berlari untuk menangis di bawah bantalnya sambil memeluk boneka. Ia sempat berucap, "Aku punya teman yang kehilangan seluruh keluarganya. Ia menemui terapis, ia menemui psikiater. Tapi tahu apa yang membuatnya dapat melanjutkan hidup? Ketika ia memutuskan untuk pindah rumah dan meninggalkan seluruh kenangan"

YOU ARE READING
The Memoir
FanfictionTuan Styles muda, begitu ia dijuluki, tahu dua hal tentang masa lalu: kita tidak pernah tahu seberapa jauh kenangan boleh terulang, pun tak dapat menebak sejauh apa mereka akan datang dengan sendirinya. Trauma hebat dengan kematian saudaranya, Harry...