Kisah Cinta Sederhana

9 2 0
                                    

Dengan cara yang aneh, aku dan Jess bertemu karna kakakku. Bisa dibilang begitu. Sosok manis yang ada di foto ruang tamu William. Sebut ia Ben. Namanya tak pernah lagi kusebut semenjak ia meninggal.

Waktu itu aku telah mengenalnya sepintas. Ben sering menyebut-nyebutnya. Walaupun tak diumumkan secara sah, kurasa mereka saling suka. Walaupun Ben tidak tahu—dan tidak peka, tapi aku bisa melihat tatapan orang jatuh cinta di mata Jess. Mereka hanya berteman. Lebih mungkin, mereka bestfriend.

Ben dua tahun diatasku. Umurku dan Jess terpaut hanya beberapa bulan, aku lebih tua 4 bulan darinya. Aku tahu Jess sejak kecil, karna dia tetanggaku tapi aku belum mengenalnya hingga Ben benar-benar pergi.

Ia hadir di pemakaman. Ia hadir di segala acara kematian Ben. Dan tanpa perlu dijelaskan, setelah itu kami tidak saling berbicara atau penasaran soal satu sama lain. Ia hanya angin lalu.

Aku sedang berduka. Kupakai waktuku untuk sendiri. Dalam keluarga, kulihat aku yang paling kehilangan abangku hingga aku tidak sadar bahwa ia telah mati. Terkadang aku masih menganggapnya hidup sehingga menyediakan satu piring lagi di depan mejanya. 4 anak dan dua orangtua, pas untuk meja 6 kursi.

Sepertinya aku tidak bersedia kehilangan saudaraku. Pil anti-depresi menghiasi hariku. Aku tahu aku belum siap. Ia pergi dengan cepat, seolah kecepatan cahaya pun tak dapat mengalahkannya. Dan aku, orang terakhir yang ia telpon. Jadi, tahu bagaimana rasanya ketika kau menutup telpon dan berpikir kakakmu baik-baik saja lalu tiba-tiba dunia berbalik menghantamnya?

Aku tidak bisa menerima kehilanganku selama beberapa saat hingga aku membuka pintu rumah karna bel berbunyi nyaring. Aku melompat dari tangga dan terburu-buru keluar, entah apa yang kupikirkan saat itu. Hanya saja aku: 1. Di rumah sendirian, 2. Sedang berduka, 3. Bel itu dipencet ribuan kali 4. Tak ayal lagi itu menggangguku.

Jess ada disana, dengan kedua kantung mata kehitaman. Ia memberiku senar berbuntut kuda dan berkata Ben meninggalkannya ketika terakhir kali berkunjung ke rumah Jess untuk membantu Mr.Thornme membetulkan aki.

Aku tertawa kecil membayangkan Ben membetulkan aki mobil. Wajah Jess penuh ribuan amarah, jadi ia tetap diam sambil memandangiku jutek, dan tidak ada yang berbicara atau memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing selama beberapa saat. Kami hanya diam seperti orang tolol, aku memegangi ujung senar dan Jess tetap memegangi ujung senar satunya, memandangiku tanpa kata dengan kadar jutek tingkat infinity.

"Mau masuk?" tanyaku karna tak merasa telah berbuat baik pada tamu. Tapi: 1. Itu ide bodoh. 2. Untuk apa pula cewek itu masuk? 3. Tidak ada orang di rumah, hanya aku. 4. Dia bisa saja curiga karna aku cowok asing yang belum begitu dikenalnya.

Tapi ia menggurbisnya dengan lebih pandai. "Tidak. Tapi aku mau duduk-duduk di taman rumahmu"

"Yeah. Silahkan saja. Jangan cabuti mawarnya atau ibuku bakal mengamuk"

Ia menurut dan tinggal di halamanku, yang dibatasi pagar setengah meter sebelum masuk ke jalanan. Aku masuk dan meninggalkan senar Ben diantara senar-senar lainnya, diantara senar-senar celloku, agar senar biolanya tersamar. Tersamar sehingga aku tidak perlu mengingat-ingatnya lagi.

Lalu aku tidak tahan untuk tidak meluapkan amarahku. Mom telah menghubungi psikiater untuk berbicara denganku, tapi tak ada yang dapat meredam dukaku. Karna tak ada satu pun dari mereka yang mengerti, tak ada satu pun yang tahu apa yang sebenarnya terjadi denganku. Ada satu psikiater yang kuingat kata-katanya: "Bicaralah. Ceritakan ceritamu. Itu bisa membuatmu lebih baik"

Tapi repurtasiku dalam 'memilih kata-kata yang tepat' sangatlah buruk, sehingga aku tidak bisa menulis diary. Lalu aku turun ke bawah dan mencegah Jess sebelum cewek itu keluar melompati pagar mungil kami. Satu-satunya orang yang dapat kuajak bicara. Inilah cara memadamkan sepercik luapanku.

The MemoirWhere stories live. Discover now