Hari ini sekolah—lagi. Pelajaran sudah tidak ada sejak liburan musim panas mulai. Summer camp yang cuman seminggu itu pun sudah lewat. Tapi ini lain, karna hanya kelasku yang datang ke sekolah. Cuman kelasku yang hadir. Kelas 2 memang merupakan masa-masa yang menyusahkan. Heran? Aku sendiri heran. Gugat saja kepala sekolahku.
Aku hadir di kelas, paling terakhir, seperti biasa. Aku menduduki kursiku di sebelah Will. Merogoh sekotak chocho s'mores sambil memanggil namanya.
Ia menengok sedikit, cukup jelas untuk melihatku nyengir. Kemudian melengos dan mengobrol dengan yang lainnya lagi. Cengiranku tadi angin lalu yang sudah ia terpa. Lamat-lamat kukosongkan genggaman tanganku dan melepaskan chocho s'mores kembali ke tas sebelum sempat memamerkannya.
Apa itu tadi? Sekelebat prasangka yang selama ini kukunci baik-baik, terlepas dari gerendel gemboknya. Prasangka yang kutampik demi kebaikan Will sendiri. Tapi hanya sekilas. Karna hari itu juga berlalu hanya sekilas buatku. Martin plus Edmund baik-baik saja kepadaku, kecuali si Will tadi. Sekali lagi memenangkan prasangkaku.
Esoknya sama saja. Pulang dari sekolah, penuh kekesalan aku membanting pintu King's dan menendang satu kursi—tidak sampai jatuh. Liam melepas pandangannya dari french fries murahan, mengunyah sebatang lagi lalu menawariku. Seolah berminat menyuap amarahku dengan kentang.
"Aku tidak lapar" kataku, nyaris seperti menghardik Liam. Si pianis pura-pura bergidik, badan ia condongkan ke belakang dengan bahu bergetar.
"Perang Dunia tampaknya sedang berlangsung dalam aliran darah Lucas Gabrialle" masa lalu—masa yang benar-benar sudah lalu, kembali ia ungkit. Aku menyayangkan sikap banciku pernah nge-fans berat sama Lucas Gabrialle dari High School Musical yang mirip cewek. Itu masa-masa SD, sayangnya pernah kuceritakan pada Liam.
Ia membuatku tertawa, tawaku mulus, pelan dan mengganggu telingaku sendiri. liam menganggukkan wajahnya, "Apa yang terjadi?"
Aku terdiam seribu satu bahasa. Peredarah darahku menjadi lebih cepat. Aku kesal, setengah mati dan hidupku, pada sosok yang mengenalkanku pada chocho s'mores itu. Di sisi lain, nuraniku maish berkata kalau aku membicarakan dirinya di belakang, itu bakal menyakiti dia.
"Tidak apa-apa, hanya... ketika ada T--"
"Aku tahu" ujar Liam. Mengibaskan tangannya yang kurus dan berurat panjang di depan wajahku, hampir menampik hidungku. Kalau ia sampai menampar hidung bangir kebanggaanku ini, akan kupatahkan jemari pianisnya. Lihat betapa sensitifnya perasaanku sekarang ini? Lantas? Gugat saja aku. Sekalian dengan kepala sekolahku.
"Aku tahu, dna Quentin tahu. Kami membicarakannya sejak kemarin" matanya menyamping ke kursi kosong yang biasa Quentin isi.
"Hey, kalian membicarakan sesuatu tanpaku?"
"Jangan tersinggung dulu" kata Liam. Ia berusaha menenangkaku dengan menyodorkan kentangnya. Lagi. "Dengar, mau tahu satu hal?"
"Katakan saja"
"Kamu adalah sosok dengan pendirian paling keras sedunia. Kami tahu kau memperjuangkan harga diri Will, dan tak ada gunanya menasehatimu. Tapi kau harus tahu sesuatu" ia berdeham, seolah-olah King's terlalu berisik sehingga ia harus mendapatkan fokus semua orang dalam satu detik. "Kau terlalu baik. Kau terlalu berprasangka baik pada temanmu itu. Kalau aku jadi kau, sudah kudo'akan dia yang buruk-buruk"
Aku mengangguk paham. Serta merta ucapan Liam memecahkan gerendel gembok prasangkaku. Lama kelamaan ia merambat keluar, bersamaan dengan Liam berkata, "Will, pada awalnya biasa saja kalau T dihina-hina. Malapetaka datang ketika ia melihat Martin—yang by the way tidak tahu apa-apa dan cuman salah paham—membela T brengsek yang sudah menyakitimu. Kupikir Martin tidak akan melakukannya kalau tahu, yah, betapa T ingin memisahkanmu dari yang lain. Tapi Martin Tuan Salah Paham memegang kendali saat itu, Edmund diam saja sehingga tampaknya netral, dan Will pasti berpikir, kalau aku tidak membela T maka aku tidak sama dengan yang lainnya. Kalau begitu aku nggak bakal punya teman dan sebagainya, maka aku harus menentang BAND dan membela T-ku tersayang yang omong-omong bau kotoran kambing. Ketika yang ada hanya kau, Will membutuhkanmu. Ketika yang lain ada Will berpikir seperti tadi lagi, kembali pada temannya yang bau kambing itu. Koreksi aku bila salah"

YOU ARE READING
The Memoir
FanfictionTuan Styles muda, begitu ia dijuluki, tahu dua hal tentang masa lalu: kita tidak pernah tahu seberapa jauh kenangan boleh terulang, pun tak dapat menebak sejauh apa mereka akan datang dengan sendirinya. Trauma hebat dengan kematian saudaranya, Harry...