Aku merasa optimis dengan hasil ujianku kemarin, walaupun Will mati-matian untuk tidak menangis karna jelek permainannya. Dalam kelas cello, muridnya terdiri dari 20 orang di kelas 2 tingkat SMA. Dan salah satunya adalah musuhku. Dan juga temanku.
Bicara soal teman, dan kembali pada yang dikatakan Quentin, kurasa aku tak mengerti karna aku tipe orang yang egois, sebenarnya malas bersosialisasi. Tipe orang yang tidak pernah merindukan siapapun, gampang melupakan orang—dan bukan karna amnesia. Aku. Memang. Sulit. Dibuat. Berkesan.
Apalagi dibuat berkenang. Itu yang kuakui pada setiap orang. Itu alasan yang kulontarkan jika ditanya kenapa tidak punya 'teman dekat'. Bahkan tidak mau mengakui orang lain sebagai 'teman'. Itu yang kukatakan pada orang.
"Kurasa nilaimu bakal bagus" itu kata Sam. Sekarang ia duduk di kursi sebelahku, memeluk cello-nya. Benar-benar memeluknya hingga ujung cello berada jauh di atas kepalanya.
Aku mau bilang bahwa aku juga seoptimis dirinya, tapi tahu bahwa semangat keberhasilan di depan orang yang nyaris gagal hanya berbuah kekecewaan bagi si gagal. Jadi, aku diam saja.
Kemudian seseorang mendekati kami. Sebut saja T, sebagai inisial. Dia tidak terlalu dikenal di kelas cello, entah kenapa. Aku adalah orang yang pertama ia dekati, dan sampai sekarang pun terus begitu. Aku mengetahui sejarah kelam masa SD-SMPnya, dan aku berasumsi bahwa jika seseorang berada di 3 tempat berbeda namun tetap dibenci, bukan tempatnya yang salah. Orang itu yang salah, karna tidak mungkin semua orang di tempat yang berbeda-beda itu tidak punya alasan yang tepat kalau sama-sama membencinya. Tahu maksudku? Ya. Di-bully.
Tapi menurutku tidak juga. Orang yang di-bully tidak selalu benar, walaupun yang mem-bully tidak pula benar. Beberapa orang berakal menjauhi anak yang bertindak di luar akal. Terkadang, mereka tidak pantas disebut pem-bully melainkan 'membela diri'.
Jadi, yang membenci T tidak selalu salah. Dan ia memang menyebalkan sejak tahun pertama. Tapi buatku apa salahnya tetap berada di dekatnya, walaupun kesal, benci setiap hari. Apa salahnya memberinya kesempatan kedua untuk memperbaiki diri.
Jadi, oke, detik itu aku masih memberinya kesempatan. Masih pula ketika T mengajak Sam, katanya urusan penting. Menjaga privasi orang, aku tidak bertanya lebih lanjut. Will menoleh padaku, tertawa mengenai sesuatu yang sekarang sudah kulupakan. Terlalu banyak hal yang kami tertawai setiap harinya.
T berlalu. Ia mengedipkan matanya. Sialan, kutukku kalau mengingat itu sekarang. Seolah adegan slow-motion, matanya berkedip seperti cewek dalam sepersekian detik, yang dalam ingatanku berlangsung selama bermenit-menit.
Lalu, Will dan si T itu pergi keluar kelas. Rupanya hal itu cukup kuat dalam mengalihkan perhatian Will dari nilai yang akan dibagikan minggu depan. Yang lebih sialnya lagi, aku ingat Will kembali ke kelas dengan cepat. Napasnya naik-turun, adrenalinnya terpacu. Ia bilang baru saja membantu T meng-hack situs Juliard. Pantas saja, ia mencintai komputer sebagaimana ia mencintai cello. Dua hal setara yang bisa saling mengalihkan.
T kembali beberapa menit setelahnya. Lebih sialnya lagi, ia masih bisa-bisanya tersenyum padaku. Dan aku masih begitu baik dengannya. Sialan.
-----
Aku tidak merasa ada hawa-hawa semangat dan ketegangan yang kurasakan ketika memasuki kelasku, melihat para penguji seperti ketika ujian terakhir. Belum sampai sebulan dan semuanya terasa jauh lebih busuk.
Aku duduk, tidak begitu tegak tapi aku tahu harus menegakkan kepala. Cello-ku kutaruh serapih mungkin di depan badanku, tapi aku tidak yakin posisina sudah benar. Kemudian aku melirik senarku, mengencangkan bulu-bulu kudanya. Malah memikirkan tentang kuda si empunya bulu ini, dibanding memikirkan partirur musiknya.
Lagu klasik yang kumainkan sekarang bukan lagi pilihanku. Sekolah menghukum anak dengan nilai paling rendah dengan tidak memberikannya pilihan apapun. Lagu yang mesti kumainkan, dari Rachmaninoff, terkenal karna ada dua versi. Yang satu, Love's Hope. Satu lagi, yang bakal jadi penentu ujianku kali ini, Love's Sorrow. Pas sekali.
Kuangkat senarku dan berusaha untuk ikhlas menampilkan karya Rachmaninoff, tapi sepertinya tidak bisa. Karna pikiranku berkelana. Karna aku belum sempat latihan. Karna aku tidak mau latihan dan tidak mau disini dan tidak mau menerima akibat perbuatan yang bahkan tak pernah kulakukan.
------
Berminggu lalu. Nilai dibagikan. Aku telat masuk kelas, tadi ada tabrakan motor. Dicurigai sebenarnya tabrakan itu bukan sekedar tabrakan, tapi ulah begal—tahu kan jenis kejahatan macam apa itu. Ambil barangnya. Ambil nyawanya sekaligus.
Jadi, ada tali kuning garis polisi, yang mengitari genangan darah hitam di tengahnya. Mereka sudah berusaha membersihkan darah itu ketika sang mayat diangkut, tapi tetap saja genangan itu ada yang tak memudar. Bayangan itu menyertaiku sampai di Juliard.
Guruku tidak ada di kelas ketika aku masuk. Kududukkan badanku di kursi samping Sam, seperti biasa. Selesai itu, guru pun masuk, dan ketaganganku akan genangan-darah-tadi sirna. Berhubung ia akan membagikan kertas jawaban, maka fokusku berganti. Keteganganku menjalar ke tumpukan kertas di tangannya.
Namanya Ernesto, atau sebut saja begitu. Aku tidak begitu yakin itu nama aslinya karna di KTP namanya lain. Pak Ernesto, guruku yang galak dan tak ada ampun, tapi karna faktor umur sering terlihat lemah, berdeham. Dehaman khas yang biasa ia lontarkan disaat kecewa.
Kurasakan Will di sebelahku menegang, cucuran keringatnya menderas. Setelah lama, Pak Ernesto mengucapkannya. "Di kelas ini, ada seorang murid yang nilainya—bukan hanya dibawah KKM—tapi jauh, jauh di bawahnya lagi. Ia dinyatakan tidak lulus"
Aliran darah Will tampaknya berhenti, jadi aku mengeluskan tanganku pada bahunya, siapa tahu peredaran darah itu mau bangun lagi dengan sentuhanku. Memangnya sihir?
Tapi, malah aku yang kena sihir. Kena tumbal.
"Harry Styles"
Aku merasa ada yang terlewat. Detak jantungku menyatu dengan tanah, awan di atas memendung. Kalau diibaratkan, aku bukan lagi sekedar hujan dan detak jantung. Aku adalah badai dan seluruh urat jantung yang telah mati, dikubur dalam tanah sehingga tak lagi bernyawa. Lalu aku teringat, sepertinya kalau tidak salah, akulah yang dipapah dokter forensik dan darahku dikitari garis kuning polisi itu.
Tapi aku masih hidup. Dan tidak adayang terlewatkan. Nafasku masih disini sehingga aku sadar, jangan-jangan malah aku yang berharap lebih baik mati dibegal daripada tidak lulus.
Tidak juga. Satu hal yang menyakitiku lebih dari apapun, adalah aku menoleh butuh pembelaan pada Will. Hanya wajah datarnya yang kutemukan disana. Mungkin ia juga kepikiran atau bagaimana, tapi wajah T lebih menyeramkan lagi.
Musuhku tersenyum, pemirsa.
-----
Hari ini penghabisan. Seluruh nafasku telah kutorehkan dmei menggesek senar pada dawai cello tercinta. Aku turun dari panggung kelas tanpa menoleh pada para penguji, merasa tak perlu mengecek apa ada tanda perubahan di wajah mereka.
Karna sama saja, tes ini hanya diperlakukan supaya aku tidak dikeluarkan dari Juliard. Tetap, aku tidak akan naik kelas.
Nilaiku yang tertera di komputer sekolah jauh lebih rendah dari apapun. Para guru sebenarnya mulai curiga ada apa antara nilai dan penampilanku yang mengagumkan waktu itu. Tapi mereka tak berkutik karna data sekolah adalah penentu. Data sekolah yang, sialnya, saking pintarnya Will sampai-sampai tidak ada tanda-tanda websitenya di-hack.
Kugenggam cello-ku, mengangkatnya dengan kesua tangan lalu menaruhnya di tas tempat ia bersemayam hingga moodku ingin memainkan musik. Guru pengujiku mengangguk padaku, membiarkanku keluar. Dari balik kerai aku dapat melihat mereka menorehkan angka 9.3. angka yang hebat. Aku belum melihat nilai asliku waktu itu, tapi aku yakin bahkan lebih bagus dari yang ini.
Dan aku tidak naik kelas. Hebat.

YOU ARE READING
The Memoir
FanfictionTuan Styles muda, begitu ia dijuluki, tahu dua hal tentang masa lalu: kita tidak pernah tahu seberapa jauh kenangan boleh terulang, pun tak dapat menebak sejauh apa mereka akan datang dengan sendirinya. Trauma hebat dengan kematian saudaranya, Harry...