Masa Lalu Itu

9 1 0
                                    


Kami turun dari kereta dan dalam sepersekian detik melambai pada keluarga Payne. "Itu Liam. Satu-satunya dari kelas pianis dalam BAND"

Adikku tidak memperhatikan dan malah menggerutu soal iPodnya. Ia mencungkil dengan sebuah kawat khas dan berusaha membuka sesuatu. Aku menyelinap diantara orang-orang dan memperhatikan gadis-sibuk-dengan-iPod-itu dari jauh, terkikik sendiri ketika ia sadar aku sudah tidak ada di sampingnya. Aku lumayan menikmati wajah panik yang kalut itu.

Aku keluar dari stasiun dan memikirkan soal barusan. Wajah Liam dan geram dan marah karna perlakuan T. Ia kemudian mencaci-maki T dan berkata bahwa ia benci, membenci banyak hal dari T sejak dulu karna anak itu menyebalkan. Namun mulutnya tertahan karna aku tampaknya dekat dengan T, jadi baru sekarang ia meluapkannya. Lebih-lebih lagi dengan perlakuan T padaku.

Kemarahan Liam diam-diam membuatku lega. Kami memang hanya teman nongkrong yang bertemu di King's, dipertemukan oleh Quentin, tapi aku merasa Liam jauh lebih menghargaiku dibanding Will. Karna Liam marah. Karna Liam mengerti. Karna ia membelaku.

Aku mencermati setiap jalan di Orlando dari dalam taksi, hingga sampai di kediaman kakakku. Ia dan istrinya tinggal serumah di Apartemen jalan baru. Aku sudah berbicara dengannya lewat telpon kemarin malam, dan ia menjanjikanku untuk mencari acara-acara yang dapat membantuku.

Aku memencet bel dan istrinya lah yang membuka. Wanita itu berambut bergelombang seperti pegunungan yang terbentuk karna lipatan kerak bumi. "Hai. Sudah lama tidak bertemu, Harry—dan oh! Fitzy! Kau kurusan!"

Aku mendelik jijik ke arah Fitzy dan mengeluarkan jurus paling dibenci cewek, "Tidak juga. Kata teman-temanku yang ke rumah, dia malah gendutan" sejujurnya, teman-temanku tidak mengatakan apapun.

Selagi Fitz panik, aku segera menyela, "William ada di rumah, Nanc?" kakak iparku bernama Nancy, tapi aku lebih suka menyebutnya Nanc.

"Tentu saja ada. Dia di dalam. Mengerjakan beberapa proyek baru, dan menyediakan info penting untukmu"

"Ya, dia sudah memberitahuku sebelumnya"

"Kau mahasiswa berbakat. Keberuntunganmu pasti tidak akan kemana-mana. Oh! Betapa bodohnya aku, ayo kalian masuk. Dari tadi bertengger terus di pintu" sejujurnya, dari tadi Nancy yang memblokir jalan kami masuk. Nancy sangat teramat heboh, dan ia berhasil mengajak Fitz agar jauh-jauh dariku dan William.

William mengusungkan beberapa helaian kertas padaku. "Kau tahu? Aku sesungguhnya tidak yakin dengan ide ini" ujar saudaraku yang cuek, semaunya dan frontal.

"Aku tahu" balasku, berusaha menutupi nada pesimis dalam suaraku.

"Kalau kau mau manggung di acara-acara khusus musim panas, kuberitahu kau, itu tidak mungkin—kecuali kalau yang kau maksud adalah summer camp untuk pemusik klasik, yang mana dikelola oleh Juliard sendiri. Tapi siapa yang mau tampil di acara kampusnya dan berharap bisa dapat lebih?"

"Kau benar. Kau punya usul?"

William melipat tangannya ke dada. "Nah, aku punya sesuatu. Bukan sekedar ide ataupun usul, apalagi saran. Tidak. Ini adalah hal yang harus kau lakukan. Aku memaksamu"

"Apa itu?"

"Kau akan kembali ke London dan pergi ke Carniage Hall, yang mana pastinya menerimamu kembali. Kau sering tampil ketika SMA, dan prestasimu itulah yang membuatmu diterima Juliard. Kenapa tidak mengulang sejarah lagi?"

Aku mengerang kecil sambil tertawa miris. Aku melihat kalender yang tampaknya terbuat dari alumunium foil karna warnanya abu-abu dan bersinar. Terdapat kata-kata mutiara di atasnya. Ampuni dirimu hari ini dan lakukan yang lebih baik besok.

The MemoirWhere stories live. Discover now