Keluar dari ferri dan mengucap perpisahan. Aku agak gugup ketika menatap punggungnya dan punggung kawanannya, berjalan di tengah orang-orang ramai dan menepi di bawah jembatan. Rasanya terlalu hijau untukku men-judge apa yang bakal mereka lakukan, tapi setidaknya aku sudah bisa meraba-raba.
Aku merasakan dentaman di lubuk hatiku. Rasa sedih itu menjalar hingga aku tak dapat berpikir dengan logis. Rasanya aku ingin menerjang kerumunan lalu menyusul kawanan brandalan itu.
Aku sedih kami bertemu lalu berpisah. Seperti bertahun lalu.
Mungkin ini yang Craig rasakan ketika aku mencampakkannya. Mungkin lebih. Bagaimana aku bisa seegois itu, aku tidak yakin. Pada akhirnya semua akan berlalu dan Craig melanjutkan hidup. Tapi, inikah hidup Craig sekarang? Si kaya raya yang sekarang menakuti orang di jalanan demi mendapat uang?
Aku tak mau menduga-duga apa yang terjadi pada ibunya, tapi aku penasaran sekali. Aku masih memiliki nomor rumah mereka yang ada di London, namun kepalang malu untuk menghubungi. Memangnya aku siapa, menelepon keluarganya dan menanyakan soal anaknya yang sudah lama kubuang?
Aku memasuki kedai pancake dan memesan rasa biasa. Aku melihat pelayannya mengantar sebakul pancakeku, diantara pancake-pancake lainnya. Sirup mapel mengotori hingga pinggiran piring, terlalu bersemangat ketika dituangkan. Dentuman sendok, garpu serta piring memenuhi telingaku. Dan aku masih belum menyuap.
Metabolismeku belum menerima makanan untuk dicerna. Rasa mualku disebabkan kesedihan.
-----
Walaupun malam itu lumayan bersejarah, aku tak menceritakan kronologisnya pada siapapun. Mom tidak bakal suka mendengarnya. Dad apalagi. Fitz? Buat apa anak itu tahu. Teman-teman di sekolah tak sekalipun tahu soal sahabat sejatiku itu. Aku terlalu kejam hingga tak pernah menyebut-nyebut namanya.
Ternyata sejarah baru terukir lagi. Dan itu tepat terjadi di Juiliard.
Mungkin aku terkena karma karna tak pernah menyebut-nyebut nama Craig. Namun dari sudut pandang Liam, ini bukanlah karma melainkan pembelaan.
Jadi, kami sedang bertiga seperti biasa saat jam istirahat nongkrong-nongkrong di kafetaria King's tercinta. Pada waktu itu Liam melihat sesuatu, bahunya menegang hingga lebih lurus dari biasanya, lalu ia berputar ke barat. Menyamping dan mengomando kami, "Kawan-kawan, lihat ke arah jam 3"
Quentin duduk di depanku sehingga arah jam 3 kami berbeda. Aku terkekeh ketika Liam menegurnya, lalu kakak kelasku itu balas dengan menyalahkan.
"Arah jam 9 kalau dari tempatku, My Queen" mata Quentin menyipit. Ia tak pernah menerima panggilan macam itu. Tapi Liam sudah beralih ke arah jam 3 (dari tempatku) yang ia maksud.
Segerombolan anak kelas cello masuk. Diantaranya ada Will, bukan salah dia kalau jarang nongkrong dengan kami. Selepas sekolah, sekarang ia punya tim yang harus diurus. Mereka mengambil meja di sebelah kami.
Dan lagi-lagi T berulah ketika aku mencoba bersosialisasi dengan kawan sekelas cello-ku. Lagi-lagi ia terlalu takut dan egois hingga berdecak kesal tiap kali yang lain tertawa denganku. Liam menatapku, bergantian lalu melirik Quentin dan Quentin pun tahu. Ia tersenyum miring, khas yang dilakukan orang kalau sednag kesal. Edmund menyampingkan tubuhnya, membenamkan setengah wajah di lengan dan memberi kode padaku. Kalau diterjemahkan kira-kira begini: Sabar ya. Dia memang mirip sampah atau kecoa.
Tapi Liam terlalu gatal dan tidak tahan. Dan dalam sedetik, ia menyindir dan menyumpahi T, yang by the way sedang di meja sebelah, mendengarkan dengan wajah bodohnya yang membuat cewek-cewek nyaris melakukan pelecehan seksual padanya. Itu hanya metafora. Seorang cowok yang begitu bodoh hingga tak bisa memprotect diri sendiri.

YOU ARE READING
The Memoir
FanfictionTuan Styles muda, begitu ia dijuluki, tahu dua hal tentang masa lalu: kita tidak pernah tahu seberapa jauh kenangan boleh terulang, pun tak dapat menebak sejauh apa mereka akan datang dengan sendirinya. Trauma hebat dengan kematian saudaranya, Harry...