Liam, Liam Payne

8 3 0
                                    

Aku masuk ke rumahku dengan mengendap-endap, aku juga tidak tahu sejak kapan aku melakukannya—atau mengapa. Setiap anak rata-rata pergi dari rumah orangtuanya sejak masuk kuliah, tapi Juliard tidak punya program asrama dan keluargaku bahagia sekali ketika aku diterima, sampai-sampai mereka membeli rumah yang berdekatan dengan Juliard.

Mom ada di dapur, sehingga aku tidak bebas mencocol kentang di meja dengan sour cream. Ia menyadari putranya datang lalu bilang, "Kakakmu menanyakanmu. Ia merindukanmu, kau tahu" nada suaranya begitu manis dan terlalu baik, sampai-sampai aku curiga dibuatnya.

Oh, aku tahu. Aku baru saja akan mengulang semester depan dan siapa yang tidak sedih akan hal itu—mungkin orang lain bakal biasa saja, tapi aku tidak. Aku lumayan bangga akan catatan sekolahku yang sempurna.

"Oh yeah, aku juga merindukannya" akhirnya, kuberanikan diri mencomot satu kentang. Dan ibuku yang sedang baik-baiknya dan manis-manisnya tidak protes. Keuntungan seorang penerima sial.

"Jadi, kapan kau bakal mengunjunginya?"

"Secepatnya, Mom. Kurasa bakal baik kalau ia bisa membantuku"

"Dalam hal apa?"

"Mom, aku punya gagasan baru. Sebenarnya merupakan gagasan Martin—teman sekelasku. dia lumayan pintar dalam melacak segala hal di internet, jadi dia menemukan satu sarana agar aku tidak drop-out atau mengulang kuliah dari awal"

Mata Mom berbinar-binar, lalu aku tahu bahwa akhir-akhir ini matanya tidak seberbinar itu. Kurasa akulah tumpuan dan penentu kebanggaannya, dan sejujurnya, prinsip itu menekanku dan aku merasa bersalah.

"Bagaimana caranya?"

"Mudah saja: jadi mahasiswa berprestasi. Tampil di panggung-panggung. Musim panas ini pasti ada banyak acara, banyak panggung belum terisi" kubuat nadaku sesarkastik mungkin. Mana mungkin hal itu disebut mudah.

Tapi ibuku tak peduli dan menganggap aku serius. "Ya, itu lumayan mudah" ia pura-pura berpikir, "Kau butuh acara-acara?"

"Ya, terutama yang keren dan besar. Entahlah. Tapi musim panas kan acaranya anak muda, dan mana ada anak muda yang menyukai cello"

"Siapa bilang? Cello itu musik yang indah" begitulah ibuku, menemukan yang baik dibalik yang buruk, kadang terlalu positif sampai kukira ia tidak mengenal derita.

Kakakku bekerja di Event Organiser. Ia menjadi EO atau pengurus acara-acara. Mungkin aku bakal membutuhkannya, walau dapat kurasakan ia bakal mengangkat alis heran dan ikut bertanya-tanya, siapa anak muda yang ingin mendengar cello?

Aku menyelinap ke tangga dan menemukan ayahku tepat di bawahnya. Ia duduk di sofa panjang keluarga kami, menonton TV dan berkata, "Hei, mau ikut nonton? Mereka hampir mengobati anjingnya" channel kesukaannya, Nat Geo People. Yang pastinya bukan masuk 'genre'ku.

Pintu Museum Jermanis Sedunia terbuka, dan Fitz melambaikan tangannya padaku dari dalam. Ketika mendekat, aku baru sadar ia memakai gaun kuno.

"Ini khas Jerman" ia cekikikan sehingga tampak seperti anak gembala.

"Tidak perlu dijelaskan, aku tahu itu berbau-bau Jerman" kemudian aku menyalakan vinyl alias piringan hitam miliknya, yang klasik dan kuno karna peninggalan Gran. Aku mendengar nada-nada dari album Get Your Heart On-nya Simple Plan, Fitz menari-nari lincah di belakangku, mengikuti lagu This Song Saved My Life dan mengubahnya dalam bahasa—apalagi kalau bukan—Jerman.

Aku menghentikan piringan itu sehingga Fitzy protes. Kulirik gadis 15 tahun itu. "Mau menemaniku ke rumah William?"

----

Will tidak tinggal di New York. Ia sudah pergi ke Amerika bahkan sebelum kami pindah dari London. Jadi, ia dan istrinya 'memilih' kota terlebih dahulu, ketika mereka belum tahu Juliard ada di New York.

"Oregon. Bau dan lembab" Fitz mengeja kota yang tertera di Google Maps. "New York juga lembab, tapi tidak bau"

"Darimana kau tahu Oregon bau?"

"Karna banyak hippie disana. Oke, ini ada Los Angeles. Panas banget. Hmm, apa lagi ya?" aku keburu menarik tangannya ketika kereta yang akan emmbawa kami telah siap. Perjalanan ke luar kota adalah hal yang kusenangi, dibanding naik pesawat ke luar negri.

Kami berebutan duduk dekat jendela, mengincar bingkai jendela sebagai penobang kepala ketika ketiduran nanti. Karna aku kakaknya, dan aku cowok sedangkan dunia ini punya hukum tak tertulis bahwa cowok harus lebih banyak mengalah, maka aku bersedia duduk dengan tempat orang berlalu-lalang di sampingku.

Oregon. Tujuan kami.

-----

Aku baru mau menutup mataku ketika melirik kursi sebelah, dan terpekik. Tertawa terbahak-bahak. Aku ber-high five dengan Liam—si pianis—yang sedang bepergian bersama keluarganya.

Ia mengajakku duduk di kursinya. Anggota keluarganya hanya tiga orang—Liam, ayah dan ibunya. Anak tunggal yang bahagia.

"Kau mau kemana?" tanyaku, lebih karna ada orangtua Liam di depanku.

"Kupikir tujuan kita sama. Jadi tidak perlu berbasa-basi"

Aku menundukkan wajah hingga daguku menyentuh dada karna malu. Tiga anggota keluarga Payne itu tertawa.

"Apa yang bakal kau lakukan disana, cellist?" Liam bertanya.

"Sesuatu yang berhubungan dengan cello" Liam masih tersenyum. "Dan Juliard" senyumnya beringsut turun dan wajahnya mulai menunjukkan simpati.

"Juliard punya cabang di Oregon?"

"Eh, tidak juga"

"Setahuku kau mempunyai kakak disana dan Juliard tidak punya cabang" ia menggaruk dagunya. Tersenyum jahil. "Tapi, siapa yang mengunjungi kakaknya ketika sudah besar? Katakan kepadaku bahwa kau tidak membual alasan. Sebenarnya kau hanya ingin ke pantai-pantai di Oregon karna ini musim panas dan yah, kau tahu. Kau kan jomblo"

"Pertama, aku bukan jenis cowok seperti itu" sanggahku.

"Oh ya, cowok Eropa lebih klasik dan bermartabat ternyata"

"Kedua, aku benar-benar ingin menemui kakakku. Dan aku menemuinya karna dia sudah dewasa dan aku sudah—kuharap—bisa dibilang besar"

"Oke, jadi kau mulai bermain selayaknya orang dewasa"

"Apaan sih kau" aku terkekeh. "Kakakku ketua sebuah EO. Dan untuk jadi mahasiswa berprestasi, aku harus tampil di banyak acara dan memenangkan lomba di musim panas ini"

Ia kembali serius dan mangut-mangut. "Aku mendukungmu, Bro. Kau tahu itu, kan?"

Memikirkan Juliard dan T membuatku sakit. Aku harus mengeluarkannya, tapi kukemas mulutku rapat-rapat dari membicarakan yang buruk soal Will. "Kau tahu kenapa aku nyaris drop out, Liam? Aku tahu kalian se-BAND pasti penasaran"

Dan cerita itu mengalir begitu saja.

ah sa O

The MemoirWhere stories live. Discover now