Detik-detik berlalu dan tak akan kembali. Aku mengemasi barang-barang sederhanaku dan pergi ke sekolah. Sederhana karna tanpa makanan ringan, tasku jadi tidak berat.
Lagipula pada siapa aku membagi makanan membludak itu nanti?
Kelas kosong ketika aku mampir. Hampir seluruh penyangga partirur musik dibawa ke aula, kecuali satu. Aku tahu teman sekelasku sekarang sedang menghuni aula, tapi tak masalah buatku kalau tidak mengikuti arahan guru. Toh dia juga tidak bakal peduli soal murid yang bakal ia temui lagi di tahun ajaran berikutnya ini. Toh tahun depan dia tetap mengajar kelas 2.
Aku tak membutuhkan partirur, kecuali kalau sedang kritis. Dan buatku tak jadi masalah kalau aku memainkan partirur-ku sendiri.
Panggung sangatlah apik ditata. Padahal sekadar panggung kelas terbuat dari kayu mahal yang memerlukan beberapa pohon untuk menyangganya. Setiap kelas memilikinya, dan Juiliard punya puluhan kelas—nyaris ratusan. Aku membayangkan seisi hutan ditebang untuk membuat panggung terindah ini.
Aku naik ke atas, memosisikan badan, menghembuskan napasku sebagai ancang-ancang untuk rileks. Kukosongkan pikiran dari pohon yang ditebang, global warming, atau apapun juga. Elgar mengalir dari senarku.
Tak lama panggung semakin membesar dan kursi-kursi kosong di hadapanku dilapisi beludru merah. Seperti tatanan kue red velvet campur cokelat terbaik yang pernah lidahku coba. Aku terus memainkannya ketika sadar aku berada di salah satu Hall yang tak pernah kusinggahi.
Melirik ke kanan. Pemain biola itu ada lagi.
Aku berusaha untuk menebas pikiran macam-macam dan memilih untuk terus saja menggesek senarku, menggerakkan tubuhku sesuai nada hingga kakiku mengegncet lantai kayu berkali-kali. Ben tetap menjalankan perannya, biola pengiring, menyamai nada Elgar dengan lebih memekik.
Aku harus berhasil. Dia kakakku. Dia hanya kakakku yang sudah meninggal. Tapi aku harus berhasil menjaga kewarasanku untuk menyelesaikan ini.
Aku harus berhasil.
Pekikan dari biolanya lama-lama mengencang. Aku tahu itu pertanda buruk—nadayang sering kudengar kalau kakakku bermain musik diiringi emosi. Amarah. Kucondongkan tubuh melirik Ben, berharap dapat menemukan apapun itu yang mengusiknya. Tapi wajahnya tenang, sedih, lembab. Ia tidak marah.
Pekikan itu makin kencang. Bukan dari biolanya, melainkan seberkas cahaya sekelibat menutupi pandangan kami berdua. Ketika aku sadar, cahaya itu berwarna bulat, terdiri atas dua sisi. Sebelah kanan dan kiri.
Sebuah mobil melintas kencang. Cahaya dari kedua lampu depannya menyuruhku minggir. Tapi terlambat, karna mataku keburu menangkap kakakku di dalamnya dan mengenali ketakutan yang merana.
Aku salah. Hantu Ben adalah poison, tapi berusaha untuk tidak memikirkan macam-macam bukanlah the cure.
----
Aku tersadar beberapa detik setelah kepalaku menyentuh tanah.
Sakit dan memekakkan telingaku, tapi aku bersyukur. Kemajuan hebat, kalau aku boleh menyombongkan diri. Setidaknya aku tidak perlu pingsan berjam-jam sebelum bangun. Kali ini hanya pingsanku hanya menghabiskan beberapa detik, lalu tersadar karna goncangan dahsyat di tempurung otakku.
Tubuhku melemah. Aku tak mau bergerak.
Aku tergapar di atas panggung, sendiri, memeluk cello-ku dan tidak bergerak. Setetes air mata seperti embun asin menyentuh pipiku. Aku tak bisa mengusapnya.
Kakakku kecelakaan malam itu. Malam itu ia meninggal.
PS
YOU ARE READING
The Memoir
FanfictionTuan Styles muda, begitu ia dijuluki, tahu dua hal tentang masa lalu: kita tidak pernah tahu seberapa jauh kenangan boleh terulang, pun tak dapat menebak sejauh apa mereka akan datang dengan sendirinya. Trauma hebat dengan kematian saudaranya, Harry...