Aku baru tidur kira-kira sekitar setengah jam ketika telepon menggangguku di tengah malam. Aku bahkan tidak menyadari yang berdering itu telponku, karna nada-nada permainan Luka Sulic masuk ke mimpi dan kukira aku bermimpi sedang memainkan cello.
Jadi, ketika sebentar aku membuka mata, aku langsung meriah telepon genggamku. Berniat melemparnya ke luar jendela karna berisik seklai, tapi teringat ayah ibuku terlalu disiplin untuk memanjakanku dengan membelikan hp baru
"Halo?"
"Hi, Har"
Will. Ya, siapa lagi yang berani menggangguku. "Jam berapa ini? Oh, setengah dua malam. Akna kubunuh kau kalau tidak ada yang penting"
"Segala yang kukatakan itu penting"
"Kapan kata-katamu pernah berbobot, eh?"
Ia terkekeh hingga makanannya—kalau benar suara krusuk-krusuk tadi berasal dari mulutnya—membuatnya tersedak. "Ya, kapan aku pernah berbobot?"
"Badanmu berbobot. Kau tahu"
"Kau bahkan tidak lebih langsing dariku!"
"Oh, mau taruhan?"
"Kau seperti anak cewek saja. Mana ada cowok yang mempermasalahkan berat badan"
"Kau yang memulai"
"KAU!"
"Jelaskan padaku ada apa ini lalu aku akan menutup telepon dan kembali tidur"
"Lihat keluar jendela"
"Tidak mau"
"Lihat keluar jendela sekarang"
"TIDAK MAU"
"AYOLAH"
"Tidak" nada suaraku merendah, mulutku menguap sebagai pertanda tubuhku melemah dna ingin segera terlelap.
"AYOLAH AKU KEDINGINAN DI LUAR"
Selama beberapa detik aku terheran-heran, kemudian tertawa, terlalu keras hingga aku takut Froggy—anjing tetangga yang dinamai nama hewan lain dan sering mengurusi urusan tetangga lain—menggonggong.
Kemudian aku menoleh ke luar jendela. Kuperhatikan Will mematung di luar, di sebelah mobilnya sendiri—pusat keirianku yang lain. Aku mencungkil jendela, mengangkat tubuhku keluar dan berusaha untuk menjaga keseimbangan. Diriku baik-baik saja hingga satu meter dari tanah, ketika aku terpeleset dan merasakan bumi bergetar di bawah bokongku.
"Kau tidak apa-apa?" Will menghampiri. Ia terkekeh jahil.
"Tidak ada masalah" ucapku, terseok-seok masuk ke dalam mobilnya.
Ia menyalakan musik rock sambil berkendara, yang sejatinya tak kami dengarkan karna volumenya dikecilkan dan Will berbicara sepanjang waktu. Ia menyetir dengan abal-abala, bahuku beberapa kali menghantam jendela.
Kami membeli makanan di toko 24 jam dan kemudian berkendara lagi. Aku tak tahu apa tujuan Will, tapi aku percayakan saja karna: 1. Mobil ini miliknya. 2. Lagipula dari tadi aku ditraktir.
Ia berhenti berkendara ketika sampai di jalan raya sepi yang mengitari bukit. Kami berada di kaki bukit, pemandangan seisi kota menyambut, lalu ia menghalangi pemandangan dengan menaikkan kaki ke jok mobil.
"Jadi?" ia bertanya.
"Jadi apa?" kuambil beberapa butir chocho s'mores, merapatkan jaketku seolah ingin terkubur di dalamnya.
"Test-mu. Baik-baik sajakah?"
"Ya, tentu saja" apa lagi yang dapat kukatakan? Di hadapan orang yang secara tidak langsung menjerumuskan diriku ke dalamnya. Ini kali pertama ia mau membahas hal yang berhubungan dengan peng-hack-an, dan sebenarnya mengherankan buatku. Setidaknya ada dua poin disini: entah ia merasa terlalu bersalah atau apa, ia tidak pernah mengungkitnya bahkan untuk meminta maaf sekalipun. Wajahnya tetap saja datar. Poin kedua, kenapa tiba-tiba mengungkitnya sekarang?

YOU ARE READING
The Memoir
FanfikceTuan Styles muda, begitu ia dijuluki, tahu dua hal tentang masa lalu: kita tidak pernah tahu seberapa jauh kenangan boleh terulang, pun tak dapat menebak sejauh apa mereka akan datang dengan sendirinya. Trauma hebat dengan kematian saudaranya, Harry...